Search This Blog

Saturday, 12 June 2021

Serat Pararaton tentang Ken Arok

 

Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu," 
Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan.." 
Kata kepala Lingkungan: "Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang". 
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk.
Kata kepala lingkungan kepada isterinya: "Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia"
diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet.
Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya,
sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. 
Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. 
Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini,"
Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok". 
Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir." 
Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa. 
Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. 
Ken Angrok lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini," 
Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. 
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. 
Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. 
Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas".
Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. 
Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. 
Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. 
Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. 
Kata ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha, 
Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka. 
Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. 
Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; 
Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. 
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. 
Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. 
Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya." 
Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian pertanyaan para dewa semua. 
Menjawablah dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa." 
Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi. 
Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. 
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: "Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian."
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. 
Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja". 
Menjawablah Ken Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok." 
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi."
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. 
Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan." 
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu".
Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini". Demikianlah kata Tunggul Ametung.
Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu,
Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. 
Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. 
Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. 
Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu. 
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. 
Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan. 
Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar." 
Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. 
Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji; 
Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. 
Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu".
Dang Hyang menjawab: " Siapa itu, buyung".
Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba".
Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja."
Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan."
Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri." 
Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan."
Sang Brahmana menjawab: "Akan kemana kamu buyung?"
Ken Angrok menjawab: " Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung."
Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana."
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."
Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba.
Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: "Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu."
Kata Sang Brahmana: "Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja."
Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang,
Kata Dang Hyang: "Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri."
Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah.
Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia."
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok.
kata Ken Angrok: "Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang."
Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Monday, 7 June 2021

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

 
Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki fondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut fondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar
 
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran fondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Fondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai , Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian fondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar trisula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata. 
Candi Palangka Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai . Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 
Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara. Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.

Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.

Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain:
 
Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.

Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.

Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat di mana akan didirikan bangunan tersebut. 

Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin di mana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.

Sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatra pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.

Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.

Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:

Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain di mana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahu.

Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang banyak. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya. Terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.

Daftar Pustaka
(Indonesia) Balai Arkeologi Medan. 1998. Berkala Arkeologi SANGKHAKALA.
(Indonesia) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PSP I. Proyek pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat. Jakarta
(Indonesia) Haryono, Timbul. 1986. Relief dan Patung Singa Pada Candi-Candi Periode Jawa Tengah: Penelitian Atas Fungsi dan Pengertiannya. Laporan Penelitian. Yogyakarta
(Inggris) Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
(Indonesia) Siagian, Renville. 2002. CANDI sebagai warisan seni dan budaya Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana
(Indonesia) Soekmono, R. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta
(Indonesia) Suaka PSP Prov. Sumbar dan Riau. 1995. Buletin Arkeologi AMOGHAPASA. Batusangkar

Tuesday, 1 June 2021

Kerajaan Kutai

Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4 atau lebih tepatnya tahun 400 hingga 1635. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini
Raja-raja Kutai Martapura
Ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik / Tutur cerita Rakyat .
Maharaja Kundungga
Kundungga merupakan raja awal pendiri Kerajaan Kutai Martapura dengan gelar Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman, yang memerintah sekitar tahun 400 Masehi atau abad ke-4 Masehi. Pada awalnya Kutai Martapura yang dipimpin oleh Kundungga belum berkedudukan sebagai raja, melainkan sebagai pemimpin kepala suku. Kutai Martapura pada masa Kundungga belum mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis
Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India. Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun. Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.
Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
Nama Maharaja Aswawarman diyakini telah terpengaruh oleh budaya Hindu, berdasarkan fakta kata "Warman" berasal dari bahasa Sanskerta, yang biasanya digunakan untuk menyebut nama orang atau penduduk India Selatan.
Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman) adalah Mulawarman Nala Dewa. 
Mulawarman adalah raja Kutai Martapura yang memerintah pada abad ke-4 Masehi. Dalam prasasti Yupa disebutkan bahwa Mulawarman pernah menyumbangkan 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.
Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martapura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu ibu kota di Kutai Lama.
Kutai Kertanegara ,pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kertanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kertanegara. 
 
Kontroversi
Pada awal tahun 2020 beredar kabar adanya perkumpulan yang menamakan dirinya “Maharaja Kutai Mulawarman”. Perkumpulan ini mengaku sebagai penerus tahta raja Mulawarman. Namun, pernyataan ini tidak berlandaskan Penemuan sejarah. Kerajaan Kutai Martapura yang dulu berpusat di Muara Kaman tidak dihidupkan kembali. Alasannya, eksistensi kerajaan ini sudah Masuk ke dalam Kerajaan Kutai Kertanegara. Alasan lainnya adalah tidak ada sumber sejarah yang valid mengenai silsilah dari keturunan Raja Dermasatia sebagai raja terakhir Kerajaan Kutai Martapur
a

https://id.wikipedia.org

Monday, 24 May 2021

Mataram Kuno

Mataram pasti tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ini adalah nama kerajaan yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Peninggalannya pun sangat terkenal, salah satunya adalah candi Borobudur. 
Di mana kerajaan tersebut adalah Mataram Kuno. Lokasinya ada di bagian tengah Pulau Jawa (Jawa Tengah saat ini). Pusat dari kerajaan Mataram Kuno disebut dengan nama Bhumi Mataram. Wilayah kerajaan Mataram Kuno dikelilingi oleh banyak gunung-gunung dan pegunungan, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. 
Selain itu, ada banyak sungai yang mengalir di wilayah kerajaan Mataram Kuno, seperti Sungai Progo, Sungai Elo, Sungai Bogowonto, dan Sungai Bengawan Solo. Perpaduan geografis ini membuat wilayah Mataram Kuno menjadi sangat subur. Berikut penjelasan lebih dalam mengenai salah satu kerajaan yang menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Beberapa sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno Ada dua jenis sumber sejarah utama kerajaan Mataram Kuno, yaitu prasasti dan candi. 
Kedua jenis peninggalan sejarah ini menjadi landasan dalam mencari tahu kisah dan seluk beluk kerajaan. Berikut adalah beberapa prasasti yang menceritakan kerajaan Mataram Kuno. 

1. Canggal Prasasti ini berangka tahun 654 Saka atau 732 M (Masehi). Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Guning Wukir, tepatnya di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Huruf yang digunakan dalam prasasti Canggal adalah palawa, sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti Canggal adalah prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dalam rangka memperingati pendirian lingga di atas Bukit Sthirangga. Lingga tersebut didirikan sebagai rasa syukur karena ia telah bisa membangun kembali kerajaan dan bertahta dengan aman dan tenteram setelah mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam prasasti tersebut, Sanjaya tak menyebutkan nama kerajaan yang ia pimpin. Ia malah menjelaskan bahwa rasa di Jawa sebelum dirinya adalah Sanna. Setelah Sanna meninggal, keadaan menjadi kacau, kemudian Sanjaya menjadi raja atas bantuan sang ibu, Sannaha, yang tidak lain adalah saudara perempuan Sanna. 
2. Kalasan Seperti namanya, prasasti berangka tahun 778M ini ditemukan di Desa Kalasan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Huruf yang digunakan dalam penulisan prasasti ini adalah pranagari (India Utara), sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan pembangunan biara bagi pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan untuk para sangha. 
3. Mantyasih Prasasti yang ditemukan di Mantyasih ini—saat ini Meteseh, Magelang, Jawa Tengah—berangka tahun 907 M. Bahasa yang digunakan dalam prasasti Mantyasih adalah Jawa Kuno. Prasasti ini berisi silsilah raja-raja Mataram sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, dan Rakai Watuhumalang. Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan banyak sekali prasasti. Namun, beberapa prasasti tersebut merupakan prasasti yang cukup sering digunakan untuk mempelajari kerajaan Mataram Kuno. Sumber sejarah yang lain adalah candi dan kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang meninggalkan banyak candi, baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Berikut adalah beberapa candi tersebut: candi Plaosan, candi Prambanan, candi Sewu, candi Kalasan, candi Kedulan, candi Morangan, candi Ijo, candi Mendut, candi Pawon, candi Sambisari, candi Sari, candi Barong, candi Sojiwan, dan candi Borobudur. Sejarah kerajaan Mataram Kuno dan perubahan kekuasaannya Nama lain dari kerajaan Mataram Kuno Medang. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh tiga wangsa (dinasti), yaitu wangsa Sanjaya, wangsa Syailendra, dan wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya merupakan pendiri kerajaan ini. Mereka merupakan pemeluk agama Hindu beraliran Siwa. Wangsa Syailendra adalah pemeluk agama Buddha. Wangsa Isyana adalah wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok. Raja pertama yang juga menjadi pendiri dari kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Setelah Sanjaya meninggal, takhta jatuh ke Rakai Panangkaran yang memeluk agama Buddha beraliran Mahayana. Ini adalah awal pergantian wangsa dari Sanjaya menjadi Syailendra. Meski penguasanya telah berganti menjadi pemeluk Buddha, agama Hindu tetap berkembang di Kerajaan Mataram Kuno. 
 

Para penganut agama Hindu berada di Jawa bagian tengah-utara, sedangkan penganut agama Buddha ada di Jawa bagian tengah-selatan. Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di kerajaan Mataram Kuno setelah anak Raja Samaratungga, yaitu Pramodawardhani, menikah dengan Rakai Pikatan yang merupakan penganut agama Hindu. Dengan kata lain, penanda kembalinya wangsa Sanjaya di takhta Mataram Kuno adalah diangkatnya Rakai Pikatan menjadi raja. Ketika itu, Rakai Pikatan juga menyingkirkan Balaputradewa yang merupakan saudraa Pramodawardhani (wangsa Syailendra). 
 
Balaputradewa Kembali ke kerajaan Sriwijaya yang ada di Sumatra. Di sana, Balaputradewa menjadi seorang raja. Akhir masa kekuasaan wangsa Sanjaya di Mataram Kuno adalah kepemimpinan Rakai Sumba Dyah Wawa. Mpu Sindok naik takhta menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa, kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok kemudian membangun wangsa baru yang disebut Isyana. Letak Kerajaan Mataram Kuno Pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno sempat berpindah beberapa kali. Pada masa awal pendiriannya, pusat kerajaan Mataram Kuno diperkirakan ada di sekitar atau di wilayah Mataram (Yogyakarta masa sekarang). 
Ketika Rakai Pikatan memimpin Mataram Kuno, pusat kerajaan pindah Mamrati (daerah Kedu, Jawa Tengah). Pusat pemerintahan pindah lagi pada masa Dyah Balitung, yaitu di Poh Pitu (masih kawasan Kedu). Pada masa Dyah Wawa, diperkirakan pusat kerajaan kembali ke Mataram atau Yogyakarta. Ketika wangsa Isyana duduk di kursi kekuasaan, pusat kerajaan pindah ke Jawa bagian timur (Jawa Timur saat ini). Silsilah raja kerajaan Mataram Kuno atau Medang Kekuasaan di Mataram Kuno pernah dipegang oleh tiga wangsa. Lalu, siapa saja raja-raja yang memimpinnya? 
 
Berikut adalah para raja kerajaan Mataram Kuno dari awal hingga akhir. 
1. Sanjaya (pendiri kerajaan Mataram Kuno sekaligus wangsa Sanjaya) 
2. Rakai Panangkaran (awal kekuasaan wangsa Syailendra) 
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra 
4. Rakai Warak alias Samaragrawira 
5. Rakai Garung alias Samaratungga 
6. Rakai Pikatan (kembalinya Wangsa Sanjaya) 
7. Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala 
8. Rakai Watuhumalang 
9. Rakai Watukura Dyah Balitung 
10. Mpu Daksa 
11. Rakai Layang Dyah Tulodong 
12. Rakai Sumba Dyah Wawa 
13. Mpu Sindok (pendiri wangsa Isyana sekaligus awal periode Mataram Kuno di Jawa Timur) 
14. Sri Lokapala 
15. Makuthawangsawardhana 
16. Dharmawangsa Teguh (akhir Kerajaan Mataram Kuno) Selain sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno atau Medang, ikuti berita dalam dan luar.

Thursday, 20 May 2021

Sejarah Nusantara

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara sekitar pada abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan patung Buddha dari perunggu di daerah Jember dan Sulawesi Selatan. Pengenalan agama Buddha di Nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hsien pada awal abad ke 5 Masehi. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Selain Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, masih banyak pula kerajaan lain bercorak Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno.

Selanjutnya, muncul dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.Pada sekitar tahun 670 M, Penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing mengunjungi ibu kota daerah Palembang. Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Sriwijaya mencapai daerah Jawa Tengah dan Kamboja. Pada abad ke-14 terdapat satu kerajaan Hindu di Jawa Timur yang bernama Kerajaan Majapahit. Antara tahun 1331-1364,, Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.

Warisan Kebudayaan 
Sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Selanjutnya, warisan dari Kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada di Nusantara membentuk berbagai inspirasi hasil karya budaya di Nusantara. Salah satu contohnya ialah karya sastra India yang dibawa ke Indonesia, yakni wiracarita Ramayana, Mahabarata, dan karya sastra lainnya. Adanya kedua kitab itu juga memacu beberapa pujangga Nusantara untuk menghasilkan karyanya sendiri, seperti Empu Dharmaja dari kerajaan Kediri yang menyusun Kitab Smaradhahana, Empu Sedah dan Empu Panuluh dari kerajaan Kediri yang menelurkan karya Kitab Bharatayuda, Empu Tanakung yang membuat Kirab Lubdaka, Empu Kanwa yang memiliki karya Kitab Arjunawiwaha, Empu Triguna dengan Kitab Kresnayana-nya, Empu Panuluh yang menulis Kitab Gatotkacasraya, Empu Tantular yang membuat Kitab Kitab Sotasoma, dan Empu Prapanca yang masyhur dengan magnum opusnya yang berjudul Kitab Negarakertagama.Dengan demikian, cerita dari karya sastra yang muncul pada masa Hindu Buddha ini menjadi sumber inspirasi bagi pewayangan Indonesia.

Selain karya sastra, sistem politik dan pemerintahan pun diperkenalkan oleh orang-orang India dan membuat masyarakat yang pada awalnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil menjadi bersatu dan membentuk sebuah kekuasaan yang lebih besar dengan pemimpin tunggal berupa seorang raja. Karena pengaruh hal ini, beberapa kerajaan Hindu-Buddha seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Tarumanegara, dan Kutai akhirnya dapat muncul di Nusantara.

Tidak hanya karya sastra dan sistem politik saja yang berkembang pada masa Hindu Buddha di Nusantara, banyak pula hasil karya manusia masa lalu yang menandakan sejarah berkembangnya Hindu-Buddha di Nusantara. Beberapa di antaranya ialah adanya alat-alat dan benda sarana ritual yang salah satunya berbentuk arca yang memiliki beberapa bentuk yang dapat dikenali dari beberapa tanda khusus (laksana), posisi atau sikap tertentu, dan wahana atau binatang yang dianggap menjadi kendaraan seorang dewa.
Sejarah Nusantara pada Era Kerajaan Hindu Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia pada periode tarikh Masehi. Agama ini dibawa oleh para musafir dari India yang bernama Maha Resi Agastya. Maha Resi agastya ini di Jawa terkenal dengan nama Batara Guru atau Dwipayana. Ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di Nusantara disebut dengan aliran Waiṣṇawa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣṇu sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat di Situs Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Situs Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada sekitar abad ke- 5-7 M). Bukti adanya Agama Hindu tampak pada prasasti Tuk Mas yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, di lereng Gunung Merbabu yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-7 M.

Dalam ajaran Buddha, diketahui dianut oleh kelompok masyarakat Nusantara tepatnya di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M. Proses penyebaran agama Buddha dilakukan oleh para Dharmaduta yang bertugas untuk menyebarkan Dharma atau ajaran Buddha ke seluruh dunia. Penyebaran agama Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri yang belajar di India dan menjadi Bhiksu kemudian menyebarkan ajarannya di Nusantara. Untuk di daerah pulau Jawa, agama Buddha datang pada Abad ke-5 yang disebarkan oleh pangeran Khasmir (bernama Gunadharma). Pada abad ke-9, penyebaran Agama Buddha dilakukan oleh pendeta-pendeta dari wilayah India yaitu Gaudidwipa (benggala) dan Gujaradesa (Gujarat). Bukti tertua adanya pengaruh Buddha India di Indonesia adalah dengan ditemukannya Arca Buddha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Buddha.
Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.
 

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-13 Masehi melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatra dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era Hindu-Buddha ini.

Thursday, 7 November 2019

PAJAJARAN BURAK

Setelah naskah Sri Baduga maharaja Jayadewata, sang Prabu Siliwangi II, naskah berikutnya yang dicoba untuk ditulis adalah kisah keruntuhan kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M. Suatu kerajaan yang paling stabil di Nusantara berabad abad justru hancur diantara saling berebut pengaruh diantara anak cucu keturunan yang sama.

Sebenarnya sangat disayangkan memang, bahwa kerajaan besar di tanah sunda tersebut tidak meninggalkan jejak sama sekali, karena memang kemungkinan dihancurkan. Politik bumi hangus yang merupakan budaya baru di tanah sunda waktu itu telah melanda wilayah sunda setelah perbedaan keyakinan dianggap sebagai salah satu sebabnya. Meskipun diyakini bahwa hal tersebut bukan karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih mengarah ke perebutan pengaruh di tanah sunda. Karena Sumedang Larang yang telah beragama Islam pun berada di balik kekuatan Pajajaran akhir, dan masih mendukungnya.

Setidaknya ada 3 kekuatan besar yang saling berebut untuk menaklukan pusat kerajaan Pajajaran tersebut. Dibarat kesultanan Banten adalah kekuatan yang paling agresif. Sedang ditimur pengaruh Cirebon meskipun mulai dominan, tetapi masih tidak banyak berbuat karena salah satu pendukung kerajaan Pajajaran, yaitu Sumedang larang yang masih satu keturunan, masih memihak Pajajaran tersebut. Di wilayah timur lannya, Mataram juga cukup agresif meluaskan pengaruhnya ke wilayah barat.

Kisah keruntuhan dari kerajaan Pajajaran telah diceritakan oleh Naskah Carita Parahiyangan dengan jelasnya. Diawali setelah meninggalnya Sri baduga maharaja Prabu Jayadewata pada tahun 1521 M, seolah dimulainya peperangan antar keturunannya. Penggantinya, Prabu Surawisesa meskipun telah berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya, tetapi mendapat serangan yang bertubi tubi, akhirnya harus rela kehilangan beberapa wilayahnya, yang menjadi pusat kerajaan, yaitu Banten, yang justru paling agresif dalam berbagai peperangan melawan Pajajaran.
Setidaknya dalam waktu 58 tahun, setelah sri baduga maharaja meninggal dan 5 penguasa, Pajajaran sebagai pusat kerajaan yang paling stabil selama berabad abad akhirnya hancur juga pada tahun 1579 M.

Disnilah bahaya politik bumi hangus, yang sebenarnya bukan merupakn tradisi dari tanah sunda. Karena politik bumi hangus kita harus memulai berbagai hal dari nol. Tidak ada kesinambungan sejarah. Sejarah telah terputus, sehingga generasi kemudiaan disamping selalu memulai dari nol, baik dlam bermata pencaharian ataupun tekhnologi. Sehingga masyarakat selalu memulai dari nol ke nol. Itulah mengapa politik bumi hangus itu membahayakan. Kemenangan besar mungkin diraih pada waktu itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya bukan hanya bisa menaklukan bangsa tersebut, tetapi politik bumi hangus setidaknya telah membunuh peradaban. Sehingga peradaban putus, dan bagi orang yang mengenang kejayaan masa lampau justru terjebak pada upaya upaya menampilkan sejarah peradaban dengan cerita cerita tahayul yang tiada masuk akal.
Sesuai dengan tema dari blog ini, yaitu mengungkap kembali khazanah sunda yang hilang. Maksudnya adalah khazanah peradaban sunda yang memang sudah terputus dengan peradaban yang aslinya. Upaya upaya mengungkap harus diupayakan melalui keahlian atau minat masing masing. Karena jika semua sudah merasa bahwa harus diungkap tuntas bukan niscaya berbagai jalan yang besar akan kita dapati.

Seperti politk bumi hangus, mematikan pendapat orang juga mungkin harus kita hindari. Biarkan mereka mereka ikut serta dengan berbagai imaginasinya. Yang penting kita bukan hanya mimpi, karena mimpi hanya dilakukan oleh orang orang yang tidak sadar. Sedang mengungkap atau mengaktualisasikan dengan berbagai imaginasinya, adalah merupakan suatu proses yang berkesinambangunan. Karena bagi para pengkhayal dalam arti yang positif atau bagi para kaum berimajinasi adalah sesuatu hal yang positif, karena berimajinasi, menghayal dan sejenisnya dilakukan oleh orang orang yang sadar. Jadi ada kemungkinan segala imaginasi nya tercapai. Apalagi kita punya nenek moyang Si Kabayan, si pengkhayal hebat, tokoh imajinatif yang paling mumpuni Dari kisah imajinasinya saja telah menghasilkan beribu ribu cerita imajinasi, berpuluh puluh film dan juga sinetron. Tokoh imajinatif yang menginspirasikan banyak imajinatif.

Kembali lagi ke cerita Pajajaran Burak. Sebenarnya bukan tidak meninggalkan jejak, karena mungkin kita kurang serius dalam mencarinya. Mungkin ada jejak, jika kita mencarinya. Karena itu dengan mengungkapkan kembali cerita Pajajaran Burak, berarti kita minimal telah membuat orang terkenang lagi akan peradaban mereka. Jika sudah mengenang berarti nantinya akan membangkitkan berbagai kemauan, ada yang mau mengungkap dengan sejarah, atau ada orang yang sengaja ingin berpetualang untuk mencari jejak jejak peradaban. Atau orang hanya ingin mencari sumber imajinatif mereka dalam mengembangkan ide idenya.
Karena itu, mudah mudahan tulisan ini menjadi salah satu dari kemauan kita untuk ikut serta dalam mengungkap peradaban sunda yang hilang. Kesinambungan sejarah itu adalah sesuatu hal yang penting. Mempelajari sejarah pada hakekatnya adalah mencari kepribadian suatu bangsa. 
Dan setelah menulis naskah ini, penulis akan fokus merevisi tulisan tulisan sebelumnya yang belum selesai. jadi untuk sementara, mungkin belum ada judul naskah berkutnya yang ditulis, karena akan fokus pada perbaikan tulisan tulisan sebelumnya. Tapi itu juga bukan harga mati, jika ada ide baru, mungkin kami akan menulis pengantarnya dulu, dan pembahasaannya dikemudian hari. Sayang memang kalau ide sudah muncul, jika tidak diungkapkan, karena ide kadang muncul secara tiba tiba. dan ide itupun kalau tidak diungkapkan kadang dengan sendirinya hilang atau lupa karena kesibukan keseharian yang kadang sulit untuk diprediksi.

PAJAJARAN SETELAH TAHUN 1521 M
Setelah meninggalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata seolah memulai ditiupnya genderang perang antara keturunan sang Sri Baduga Maharaja. Keturunan Raja dari istrinya Subang Larang, mulai menyingsingkan bajunya ketika Pajajaran mulai bekerja sama dengan Portugis. Para pangeran dari tanah sunda yang berbeda keyakinan dengan sang raja mulai mengeksiskan dirinya untuk melawan pusat kekuasaan di Pakuan. Keterikatan persaudaraan seolah terkikis oleh pandangan yang berbeda dalam menyangkut masa depan kerajaan.
Keengganan antar kerabat yang setara masih dalam batas batas menahan diri untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Hingga muncul generasi kedua, yang nantinya menjadi tokoh yang paling agresif dalam upaya ekspansinya dalam membebaskan Pajajaran dari kerjasamanya dengan Portugis.
Setelah Sri Baduga maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia, dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Pada zamannya mulai ada peperangan antara Pajajaran dengan Cirebon yang di bantu Demak.
Prabu Surawisesa adalah anak raja dari Kentrik Manik Mayang Sunda, istrinya yang merupakan putri dari raja sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal. Dan Prabu Surawisesa ini kemudian menggantikan tahta ayahnya, ketika ayahnya meninggal.
Di istri lain, yang bernama Nyi Subang Larang yang beragama Islam, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mempunyai anak 3 orang, yaitu Pangeran Cakrabuana atau sering juga disebut dengan Pangeran Walangsungsang, yang menjadi penguasa Cirebon, yang kedua adalah Rara Santang, yang menikah dengan bangsawan arab hingga mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga adalah Pangeran Sangara, atau dikenal juga dengan Kian Santang.
Prabu Surawisesa raja Pajajaran dan Pangeran Cakrabuana, penguasa wilayah Cirebon merupakan generasi yang sederajat/ setingkat, karena kekerabatannya sangat dekat, statusya masih adik kakak, seolah merasa enggan saling menyerang. Prabu Surawisesa enggan menyerang Cirebon, sedang Pangeran Cakrabuana juga masih enggan menyerang Pakuan pajajaran.
Meskipun atas desakan kesultanan Demak supaya menyerang daerah daerah Pajajaran, Pangeran Cakrabuana yang telah bekerja sama dengan Demak, belum berani untuk menyerang daerah daerah Pajajaran, terutama ketika ayahnya masih hidup. Hingga datang keponakan mereka, Pangeran Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, yang merupakan tokoh keagamaan dan panglima perang yang paling berpengaruh. Pangeran Syarif Hidayatullah dan kemudian diteruskan oleh turunannya merupakan orang yang paling agesif untuk menguasai Pajajaran. Sehingga seluruh serangan ke kerajaan Pajajaran selalu dalam koordinasi pasukannya.
Pangeran Syarif Hidayatullah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penguasaan pelabuhan pelabuhan utama Pajajaran. Ia juga adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap penguasaan wiayah wilayah Pajajaran bagian timur. Diawali dengan penaklukan banten pada tahun 1526 M, kemudian diikuti oleh penaklukan Nusa Kalapa (Sunda kalapa) pada tahun 1527 M, yang kemudian diganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta sekarang). Ia juga menaklukan beberapa wilayah Pajajaran di bagian timur. Pada tahun 1529 M, pasukannya menaklukan kerajaan Talaga. Raja talaga, Sunan Parungangsa dan putrinya Ratu Sunyalarang serta menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela masuk Islam. Kerajaan Kuningan juga juga ditaklukannya. Penguasa kuningan waktu itu, Ratu Selawati menyerah, dan salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan.
Pada masa Prabu Surawisesa yang berkuasa dari tahun 1521 hingga 1535 M, telah banyak kehilangan kekuasaannya. Meskipun ia terkenal seorang pemberani dan sulit ditaklukan, tetapi karena medan yang cukup luas, maka lambat laun wilayah wilayah yang jauh (perbatasan) banyak yang takluk ke pasukan Pangeran Syarif Hidayatullah dari Cirebon.

Penaklukan Banten dan Kalapa
Pasukan Pangeran Hidayatullah untuk menguasai wilayah Banten dan Nusa Kalapa (Jakarta) dipercayakan kepada panglimanya, yang bernama Fatahillah, atau dikenal juga dengan nama Fadhilah Khan. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan bernama Arya Burah. Sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut dengan nama Wong Agung Pase (yang setelah meninggal dimakamkan di puncak Gunung Sembung, berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati.
Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Banten juga merupakan salah satu daerah yang perkembangan umat islamnya cukup tinggi di kerajaan Pajajaran selain Cirebon. Disana juga terdapat anak sang penguasa cirebon berada, Maulana Hasanadiin, disamping masih kerabat penguasa setempat. Ia juga masih turunan pangeran dari kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Penguasa Banten, Arya Suranjaya beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Maulana Hasanudin (1552-1570 M) merupakan putri dari Pangeran Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dengan Nyi Kawunganten, putri penguasa Banten waktu itu, Surasowan. Maulana Hasanuddin oleh kakeknya, Surasowan, ia diberinama Pangeran Sebakingkin. 
Surasowan meninggal ketika usia masih relatif muda, dan tampuk kekuasaan diwariskan kepada putra sulungnya, Arya Surajaya, kakak dari istri Syarif Hidayatullah, Nyi Kawunganten. Sedang Syarif Hidayatullah waktu itu diangkat menjadi penguasa di Crebon menggantikan ua-anya, Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang. 
Maulana Hasanuddin setelah remaja, memilih menjadi seorang pengajar agamaIslam, yang mempunyai banyak santri. Sehingga ia kemudian berkembang menjadi tokoh komunitas islam di Banten, dan masyarakat sering menyebutnya dengan Syekh Hasanuddin.
Maulana Hasanudiin masih sering bekunjung ke tempat ayahnya, Syarif Hidayatullah, yang menjadi penguasa di Cirebon. Mereka sering berdiskusi masalah perkembangan politik dinegeri Pajajaran. Dan upayanya dalam pencegahan terhadap kedatangan pasukan portugis yang rencananya akan datang tahun 1526 M. 
Karena itu ayahnya, Syarif Hidayatullah mulai merencanakan untuk menguasai Banten pada tahun itu juga. Pasukan dari cirebon akan dipimpin oleh Fatahillah, dan Hasanuddin ditugasi untuk mengkoordinasikan dan memperlancar prses penyerangan tersebut.
Ketegangan dan rencana serangan Cirebon yang dibantu Demak ke Banten, rupanya memperburuk hubungannya dengan ua-nya yang menjadi penguasa di Banten, Arya Surajaya, yang masih setia ke pusat kerajaan Pajajaran, di Pakuan.

Putra Sunan Gunung Jati yang mengikuti peperangan, dan masih keponakan sang peguasa Banten yaitu Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya menjadi Bupati Banten (1526). Dan Setahun kemudian, Fatahillah (Fadhilah Khan) bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Nusa Kalapa. 
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri.Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Ditaklukannya pelabuhan utama waktu itu, Banten pada tahun 1526 M, adalah pukulan awal terberat bagi kekuasaan Surawisesa, yang dikuti oleh penaklukan Nusa kalapa (Jakarta) pada tahun berikutnya (1527 M), membuat Pakuan terisolasi dari dunia luar. Sehingga bantuan dari Portugis yang datangpun tidak bisa merapat memberi bantuan karena pelabuhan pelabuhan utama sudah dikuasai oleh pasukan Cirebon –Demak. Sehingga Portugis mengurungkan niatnya untuk membangun benteng di Nusa Kalapa.
Karena berbagai peperangan yang terus terjadi, akhirnya Sang Prabu Surawisesa kemudian melakukan perjanjian dengan pihak Sunan Gunung Jati, yang tidak akan saling menyerang satu sama lain.

SUKSESI DI PAKUAN PADA TAHUN 1535 M
Pada tahun 1535 M, Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa meninggal. Dan tahta jatuh ke anaknya Prabu Dewata buanawisesa atau Prabu Ratu Dewata.
Ratu dewata bukanlah seorang negarawan yang cakap. Ia kurang mengerti seluk beluk perpolitikan dan pemerintahan. Sehingga kadang kebijakanannya banyak bertolak belakang. Ia kelihatan alim dan berperilaku sebagai rajaresi. Tetapi kebijakannya justru para pendeta banyak yang menjadi korban. 
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian). 
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah dengan baik. Tapa brata seperti yang dilakukannya hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan engkau berpura-pura rajin puasa).
Meskipun hidup seperti seorang resi, justru pada zaman Prabu Ratu dewata ini banyak ahli agama / padita yang dianiaya. Dalam Naskah Carita Parahyangan menceritakan hal ini. Seorang Pandita yang sakti dari Sumedang di aniaya, Sang pandita di Ciranjang dibunuh tanpa dosa, dan Sang pandita di Jayagiri buang ke sagara (laut / danau/ sungai besar)..
Rupanya penulis kisah kuno ini melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
Tentang Prabu Ratu Dewata dalam Naskah Carita parahiyangan secara lengkap menceritakan:
Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.
Serangan dari pasukan luar ke Pakuan
Pada zaman Prabu Ratu Dewata diuntungkan karena perjanjian yang dibuat ayahnya, Prabu Surawisesa dengan penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sehingga di masanya nyaris tidak ada peperangan yang melibatkan kedua negara secara terang terangan.
Pada masanya perjanjian perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku. Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Tetapi ada sebagian pasukan dari Banten yang merasa kurang puas terhadap isi perjanjian tersebut. Sehingga pasukan banten tersebut kemudian menyerang ibukota Pajajaran, Pakuan. Ada yang mengatakan bahwa pasukan tersebut memang di bentuk oleh Pangeran Maulana Hasanuddin. 
Maulana Hasanuddin diyakini membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya.

Dalam menghadapi serangan tersebut, Ratu Dewata beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa, dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.
Dalam pertempuran melawan pemberontak di ibukota tersebut, ada 2 pejabat Pajajaran yang gugur, yaitu Tohaan (Raja) Sarendet jeung Tohaan (Raja) Ratu Sanghiang. Prabu Ratu Dewata berkuasa selama 8 tahun, dan tahaun ke-9, ia meninggal dunia.
SUKSESI PADA TAHUN 1543 M
Ketika wilayah Banten, di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin telah berkembang menjadi ibukota dan pusat kekuasaan islam yang terpenting, melebihi saudara tuanya (cirebon) dimana ayahnya (sunan Gunung Jati) berkuasa. Sehingga Maulana Hasanuddin seolah telah menjadi seorang penguasa yang independen, meskipun ia masih mengakui Cirebon sebagai pusat kekuaasaanya. Karena itu konflik dengan ibukota Pajajaran, Pakuan, seolah telah menjadi kebijakannya yang independen tidak harus menunggu perintah dari ayahnya di Cirebon.
Karena masih terikat oleh perjanjian yang dialkukan oleh ayahnya dan juga diikuti oleh dirinya, sehingga Maulana Hasanuddin tidak bisa menyerang secara terbuka ke ibukota Pakuan. Meskipun komplik tetap ada , dan kadang ia sendiri selalu melakukan serangan mendadak, meskipun secara diam diam. Seperti yang dilakukannya ketika Prabu Ratu Dewata masih hidup.
Sedang dipihak Pakuan Pajajaran, pada tahun 1543 M, terjadi suksesi kekuasaan. Prabu Ratu dewata meninggal dunia, diganti oleh anaknya yang bernama Ratu Sakti. Dengan demikian, Ratu sakti merupakan raja yang ke-3, raja yang ia hadapi, dalam masa kekuasaannya di Banten.

Kebijakan Ratu Sakti (mp. 1543-1551 M)
Dalam Naskah carita parahiyanga kekuasaan Ratu Sakti diungkapkan sebagai berikut:
Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.
Sang Ratusakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun 1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Ia berkuasa disaat yang tiada menentu, ancaman dari Banten dan juga Cirebon, telah membuat masyarakat Pakuan dan pajajaran pada situasi yang tidak menentu. Ia berbeda pendapat dalam mengatasi pemerintaannya yang tidak menguntungkan itu.

Untuk mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim. Ia bersikap sebaliknya, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Di samping lalim terhadap rakyatnya, ia juga membuat perpecahan di kalangan istana Pakuan. Ia dikecam bukan karena kebijakannya saja, tetapi karena ia dianggap melanggar undang undang yang menjadi dasar dalam perkawinan di kalangan istana. Raja telah melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
Setelah diturunkan dari tahta, kemudian para pembesar istana di pakuan mengangkat Sang Nikalendra atau Tohaan di Majaya.
SUKSESI PAKUAN TAHUN 1551 M
Ketika eksistensi banten mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin, justru di pusat kerajaan Pakuan sedang mengalami degradasi kekuasaan yang akut. Pada tahun 1551 M terjadi suksesi kekuasaan, karena rajanya diturunkan secara paksa. Sehingga Maulana Hasanuddin menghadapi raja ke-4, daripakuan Pajajaran. 
Sang Nikalendra atau Tohaan Di Majaya, berkuasa tidak banyak membawa perubahan dalam sikapnya berkuasa. Ia sendiri seolah kebingungan dalam melakukan kebijakannya, malah terjebak pada poya poya. Sedang di lain pihak, Maulana Hasanuddin dari Banten seolah sedang melakukan serang besar besaran ke negeri negeri yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Putra dari maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf telah menjadi panglima perang dari Banten yang saangat ditakuti oleh pasukan pasukan Pajajaran.
Tentang kekuasaan Sang Nikalendra yang berkuasa di pakuan di ceritakan alam naskah carita parahiyangan.
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita.
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.
Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Pada masanya Maulana Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf.
Prabu Nikalendra banyak mengalami kekalahan dalam peperangan, sehingga Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para panglima dan para prajurityang ditinggalkan. 
Dan ia sendiri meninggal pada tahun 1567 M, dan ia diganttikan oleh anaknya, yang berrnama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakencana.

AKHIR PAKUAN JATUH (1579 M)
Di akhir Naskah carita Parahiyangan, diceritakan sebagai berikut:
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana (Prabu Nusa Mulya dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana) menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. 
Prabu Suryakanacana atau prabu Nusa Mulya tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya, sejak Sang Nikalendra, mengalamii berbagai kekalahan dalam peperangan melawan Banten dan juga Cirebon. Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Diakhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.

Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.

Suksesi Di Banten tahun 1570 M
Pada tahun 1570 M, Sultan Maulana Hasanuddin meninggal dunia, sehingga kekuasaannya jatuh ke putra sulungnya, Maulana Yusuf. Sulyan Maulana Yusuf sebelum menjadi raja dikenal sebagai panglima yang paling agresif dalam menaklukan wilayah wilayah Pajajaran. Karena itu setelah berkuasa ia kemudian menabuh genderang untuk menguasai ibukota Pajajaran, Pakuan, yang telah ditinggalkan oleh penguasanya sejak tahun 1567M.
Setelah ditinggalkan oleh penguasanya pada tahun 1567 M, Pasukan syek yusuf sangat sulit untuk menembus ibukota Pakuan tersebut. Ibukota Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sangat tangguh untuk ditembus oleh musuh.
Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Pasukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota pada tahun 1579 M.

Pajajaran Burak tahun 1579 M
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.
Dalam Pustaka Nusantara, tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
” Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan:
“ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

Simbol Kekuasaan Pajajaran
Meskipun Syekh Yusuf dan pasukannya dapat menguasai ibukota pajajaran, pakuan, tetapi ia gagal dalam mengamankan simbol simbol kekuasaan dari negeri pajajaran tersebut. Dari 2 simbol yang bisa dianggap sah menjadi penguasa seluruh negeri Pajajaran, ia hanya bisa menyelamatkan 1 simbol saja, yaitu Palangka Sriman Sriwacana, tempat untuk mensyahkan raja, sedang simbol raja yang berupa mahkota ia tidak dapatkan.
Ada 2 simbol kekuasaan raja pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa pajajaran sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk batu, yang dinamakan Palangka Sriman dan yang kedua adalah mahkota raja. Maulana Yusuf karena masih merupakan cicit dari Mahraja jayadewata merasa berhak atas lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa palangka sriman sri wacana ke banten surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut mahkota sebagai lambang sah kerajaan pajajaran.
Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf kemudian memboyong benda-benda yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).

Palangka Sriman, yang merupakan simbol tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan Banten oleh Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten karena tradisi politik Sunda waktu itu mengharuskan demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.

Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang. Mahkota ini diselamatkan oleh empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa Sumedang larang. Sehingga dalam sejarah sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke kekuasaan kerajaan Sumedang larang.

Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (EmbahNangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.

Dengan demikian, meskipun Pakuan pajajaran dapat ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari banten, tetapi karena gagal mendapatkan mahkota, maka Banten tidak pernah bisa menguasai seluruh bekas kerajaan pajajaran, dan justru seluruh eks wilayah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh cirebon dan juga Banten jatuh ke kerajaan Sumedang Larang.