Search This Blog

Thursday 7 November 2019

PAJAJARAN BURAK

Setelah naskah Sri Baduga maharaja Jayadewata, sang Prabu Siliwangi II, naskah berikutnya yang dicoba untuk ditulis adalah kisah keruntuhan kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M. Suatu kerajaan yang paling stabil di Nusantara berabad abad justru hancur diantara saling berebut pengaruh diantara anak cucu keturunan yang sama.

Sebenarnya sangat disayangkan memang, bahwa kerajaan besar di tanah sunda tersebut tidak meninggalkan jejak sama sekali, karena memang kemungkinan dihancurkan. Politik bumi hangus yang merupakan budaya baru di tanah sunda waktu itu telah melanda wilayah sunda setelah perbedaan keyakinan dianggap sebagai salah satu sebabnya. Meskipun diyakini bahwa hal tersebut bukan karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih mengarah ke perebutan pengaruh di tanah sunda. Karena Sumedang Larang yang telah beragama Islam pun berada di balik kekuatan Pajajaran akhir, dan masih mendukungnya.

Setidaknya ada 3 kekuatan besar yang saling berebut untuk menaklukan pusat kerajaan Pajajaran tersebut. Dibarat kesultanan Banten adalah kekuatan yang paling agresif. Sedang ditimur pengaruh Cirebon meskipun mulai dominan, tetapi masih tidak banyak berbuat karena salah satu pendukung kerajaan Pajajaran, yaitu Sumedang larang yang masih satu keturunan, masih memihak Pajajaran tersebut. Di wilayah timur lannya, Mataram juga cukup agresif meluaskan pengaruhnya ke wilayah barat.

Kisah keruntuhan dari kerajaan Pajajaran telah diceritakan oleh Naskah Carita Parahiyangan dengan jelasnya. Diawali setelah meninggalnya Sri baduga maharaja Prabu Jayadewata pada tahun 1521 M, seolah dimulainya peperangan antar keturunannya. Penggantinya, Prabu Surawisesa meskipun telah berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya, tetapi mendapat serangan yang bertubi tubi, akhirnya harus rela kehilangan beberapa wilayahnya, yang menjadi pusat kerajaan, yaitu Banten, yang justru paling agresif dalam berbagai peperangan melawan Pajajaran.
Setidaknya dalam waktu 58 tahun, setelah sri baduga maharaja meninggal dan 5 penguasa, Pajajaran sebagai pusat kerajaan yang paling stabil selama berabad abad akhirnya hancur juga pada tahun 1579 M.

Disnilah bahaya politik bumi hangus, yang sebenarnya bukan merupakn tradisi dari tanah sunda. Karena politik bumi hangus kita harus memulai berbagai hal dari nol. Tidak ada kesinambungan sejarah. Sejarah telah terputus, sehingga generasi kemudiaan disamping selalu memulai dari nol, baik dlam bermata pencaharian ataupun tekhnologi. Sehingga masyarakat selalu memulai dari nol ke nol. Itulah mengapa politik bumi hangus itu membahayakan. Kemenangan besar mungkin diraih pada waktu itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya bukan hanya bisa menaklukan bangsa tersebut, tetapi politik bumi hangus setidaknya telah membunuh peradaban. Sehingga peradaban putus, dan bagi orang yang mengenang kejayaan masa lampau justru terjebak pada upaya upaya menampilkan sejarah peradaban dengan cerita cerita tahayul yang tiada masuk akal.
Sesuai dengan tema dari blog ini, yaitu mengungkap kembali khazanah sunda yang hilang. Maksudnya adalah khazanah peradaban sunda yang memang sudah terputus dengan peradaban yang aslinya. Upaya upaya mengungkap harus diupayakan melalui keahlian atau minat masing masing. Karena jika semua sudah merasa bahwa harus diungkap tuntas bukan niscaya berbagai jalan yang besar akan kita dapati.

Seperti politk bumi hangus, mematikan pendapat orang juga mungkin harus kita hindari. Biarkan mereka mereka ikut serta dengan berbagai imaginasinya. Yang penting kita bukan hanya mimpi, karena mimpi hanya dilakukan oleh orang orang yang tidak sadar. Sedang mengungkap atau mengaktualisasikan dengan berbagai imaginasinya, adalah merupakan suatu proses yang berkesinambangunan. Karena bagi para pengkhayal dalam arti yang positif atau bagi para kaum berimajinasi adalah sesuatu hal yang positif, karena berimajinasi, menghayal dan sejenisnya dilakukan oleh orang orang yang sadar. Jadi ada kemungkinan segala imaginasi nya tercapai. Apalagi kita punya nenek moyang Si Kabayan, si pengkhayal hebat, tokoh imajinatif yang paling mumpuni Dari kisah imajinasinya saja telah menghasilkan beribu ribu cerita imajinasi, berpuluh puluh film dan juga sinetron. Tokoh imajinatif yang menginspirasikan banyak imajinatif.

Kembali lagi ke cerita Pajajaran Burak. Sebenarnya bukan tidak meninggalkan jejak, karena mungkin kita kurang serius dalam mencarinya. Mungkin ada jejak, jika kita mencarinya. Karena itu dengan mengungkapkan kembali cerita Pajajaran Burak, berarti kita minimal telah membuat orang terkenang lagi akan peradaban mereka. Jika sudah mengenang berarti nantinya akan membangkitkan berbagai kemauan, ada yang mau mengungkap dengan sejarah, atau ada orang yang sengaja ingin berpetualang untuk mencari jejak jejak peradaban. Atau orang hanya ingin mencari sumber imajinatif mereka dalam mengembangkan ide idenya.
Karena itu, mudah mudahan tulisan ini menjadi salah satu dari kemauan kita untuk ikut serta dalam mengungkap peradaban sunda yang hilang. Kesinambungan sejarah itu adalah sesuatu hal yang penting. Mempelajari sejarah pada hakekatnya adalah mencari kepribadian suatu bangsa. 
Dan setelah menulis naskah ini, penulis akan fokus merevisi tulisan tulisan sebelumnya yang belum selesai. jadi untuk sementara, mungkin belum ada judul naskah berkutnya yang ditulis, karena akan fokus pada perbaikan tulisan tulisan sebelumnya. Tapi itu juga bukan harga mati, jika ada ide baru, mungkin kami akan menulis pengantarnya dulu, dan pembahasaannya dikemudian hari. Sayang memang kalau ide sudah muncul, jika tidak diungkapkan, karena ide kadang muncul secara tiba tiba. dan ide itupun kalau tidak diungkapkan kadang dengan sendirinya hilang atau lupa karena kesibukan keseharian yang kadang sulit untuk diprediksi.

PAJAJARAN SETELAH TAHUN 1521 M
Setelah meninggalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata seolah memulai ditiupnya genderang perang antara keturunan sang Sri Baduga Maharaja. Keturunan Raja dari istrinya Subang Larang, mulai menyingsingkan bajunya ketika Pajajaran mulai bekerja sama dengan Portugis. Para pangeran dari tanah sunda yang berbeda keyakinan dengan sang raja mulai mengeksiskan dirinya untuk melawan pusat kekuasaan di Pakuan. Keterikatan persaudaraan seolah terkikis oleh pandangan yang berbeda dalam menyangkut masa depan kerajaan.
Keengganan antar kerabat yang setara masih dalam batas batas menahan diri untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Hingga muncul generasi kedua, yang nantinya menjadi tokoh yang paling agresif dalam upaya ekspansinya dalam membebaskan Pajajaran dari kerjasamanya dengan Portugis.
Setelah Sri Baduga maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia, dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Pada zamannya mulai ada peperangan antara Pajajaran dengan Cirebon yang di bantu Demak.
Prabu Surawisesa adalah anak raja dari Kentrik Manik Mayang Sunda, istrinya yang merupakan putri dari raja sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal. Dan Prabu Surawisesa ini kemudian menggantikan tahta ayahnya, ketika ayahnya meninggal.
Di istri lain, yang bernama Nyi Subang Larang yang beragama Islam, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mempunyai anak 3 orang, yaitu Pangeran Cakrabuana atau sering juga disebut dengan Pangeran Walangsungsang, yang menjadi penguasa Cirebon, yang kedua adalah Rara Santang, yang menikah dengan bangsawan arab hingga mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga adalah Pangeran Sangara, atau dikenal juga dengan Kian Santang.
Prabu Surawisesa raja Pajajaran dan Pangeran Cakrabuana, penguasa wilayah Cirebon merupakan generasi yang sederajat/ setingkat, karena kekerabatannya sangat dekat, statusya masih adik kakak, seolah merasa enggan saling menyerang. Prabu Surawisesa enggan menyerang Cirebon, sedang Pangeran Cakrabuana juga masih enggan menyerang Pakuan pajajaran.
Meskipun atas desakan kesultanan Demak supaya menyerang daerah daerah Pajajaran, Pangeran Cakrabuana yang telah bekerja sama dengan Demak, belum berani untuk menyerang daerah daerah Pajajaran, terutama ketika ayahnya masih hidup. Hingga datang keponakan mereka, Pangeran Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, yang merupakan tokoh keagamaan dan panglima perang yang paling berpengaruh. Pangeran Syarif Hidayatullah dan kemudian diteruskan oleh turunannya merupakan orang yang paling agesif untuk menguasai Pajajaran. Sehingga seluruh serangan ke kerajaan Pajajaran selalu dalam koordinasi pasukannya.
Pangeran Syarif Hidayatullah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penguasaan pelabuhan pelabuhan utama Pajajaran. Ia juga adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap penguasaan wiayah wilayah Pajajaran bagian timur. Diawali dengan penaklukan banten pada tahun 1526 M, kemudian diikuti oleh penaklukan Nusa Kalapa (Sunda kalapa) pada tahun 1527 M, yang kemudian diganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta sekarang). Ia juga menaklukan beberapa wilayah Pajajaran di bagian timur. Pada tahun 1529 M, pasukannya menaklukan kerajaan Talaga. Raja talaga, Sunan Parungangsa dan putrinya Ratu Sunyalarang serta menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela masuk Islam. Kerajaan Kuningan juga juga ditaklukannya. Penguasa kuningan waktu itu, Ratu Selawati menyerah, dan salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan.
Pada masa Prabu Surawisesa yang berkuasa dari tahun 1521 hingga 1535 M, telah banyak kehilangan kekuasaannya. Meskipun ia terkenal seorang pemberani dan sulit ditaklukan, tetapi karena medan yang cukup luas, maka lambat laun wilayah wilayah yang jauh (perbatasan) banyak yang takluk ke pasukan Pangeran Syarif Hidayatullah dari Cirebon.

Penaklukan Banten dan Kalapa
Pasukan Pangeran Hidayatullah untuk menguasai wilayah Banten dan Nusa Kalapa (Jakarta) dipercayakan kepada panglimanya, yang bernama Fatahillah, atau dikenal juga dengan nama Fadhilah Khan. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan bernama Arya Burah. Sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut dengan nama Wong Agung Pase (yang setelah meninggal dimakamkan di puncak Gunung Sembung, berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati.
Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Banten juga merupakan salah satu daerah yang perkembangan umat islamnya cukup tinggi di kerajaan Pajajaran selain Cirebon. Disana juga terdapat anak sang penguasa cirebon berada, Maulana Hasanadiin, disamping masih kerabat penguasa setempat. Ia juga masih turunan pangeran dari kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Penguasa Banten, Arya Suranjaya beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Maulana Hasanudin (1552-1570 M) merupakan putri dari Pangeran Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dengan Nyi Kawunganten, putri penguasa Banten waktu itu, Surasowan. Maulana Hasanuddin oleh kakeknya, Surasowan, ia diberinama Pangeran Sebakingkin. 
Surasowan meninggal ketika usia masih relatif muda, dan tampuk kekuasaan diwariskan kepada putra sulungnya, Arya Surajaya, kakak dari istri Syarif Hidayatullah, Nyi Kawunganten. Sedang Syarif Hidayatullah waktu itu diangkat menjadi penguasa di Crebon menggantikan ua-anya, Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang. 
Maulana Hasanuddin setelah remaja, memilih menjadi seorang pengajar agamaIslam, yang mempunyai banyak santri. Sehingga ia kemudian berkembang menjadi tokoh komunitas islam di Banten, dan masyarakat sering menyebutnya dengan Syekh Hasanuddin.
Maulana Hasanudiin masih sering bekunjung ke tempat ayahnya, Syarif Hidayatullah, yang menjadi penguasa di Cirebon. Mereka sering berdiskusi masalah perkembangan politik dinegeri Pajajaran. Dan upayanya dalam pencegahan terhadap kedatangan pasukan portugis yang rencananya akan datang tahun 1526 M. 
Karena itu ayahnya, Syarif Hidayatullah mulai merencanakan untuk menguasai Banten pada tahun itu juga. Pasukan dari cirebon akan dipimpin oleh Fatahillah, dan Hasanuddin ditugasi untuk mengkoordinasikan dan memperlancar prses penyerangan tersebut.
Ketegangan dan rencana serangan Cirebon yang dibantu Demak ke Banten, rupanya memperburuk hubungannya dengan ua-nya yang menjadi penguasa di Banten, Arya Surajaya, yang masih setia ke pusat kerajaan Pajajaran, di Pakuan.

Putra Sunan Gunung Jati yang mengikuti peperangan, dan masih keponakan sang peguasa Banten yaitu Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya menjadi Bupati Banten (1526). Dan Setahun kemudian, Fatahillah (Fadhilah Khan) bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Nusa Kalapa. 
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri.Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Ditaklukannya pelabuhan utama waktu itu, Banten pada tahun 1526 M, adalah pukulan awal terberat bagi kekuasaan Surawisesa, yang dikuti oleh penaklukan Nusa kalapa (Jakarta) pada tahun berikutnya (1527 M), membuat Pakuan terisolasi dari dunia luar. Sehingga bantuan dari Portugis yang datangpun tidak bisa merapat memberi bantuan karena pelabuhan pelabuhan utama sudah dikuasai oleh pasukan Cirebon –Demak. Sehingga Portugis mengurungkan niatnya untuk membangun benteng di Nusa Kalapa.
Karena berbagai peperangan yang terus terjadi, akhirnya Sang Prabu Surawisesa kemudian melakukan perjanjian dengan pihak Sunan Gunung Jati, yang tidak akan saling menyerang satu sama lain.

SUKSESI DI PAKUAN PADA TAHUN 1535 M
Pada tahun 1535 M, Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa meninggal. Dan tahta jatuh ke anaknya Prabu Dewata buanawisesa atau Prabu Ratu Dewata.
Ratu dewata bukanlah seorang negarawan yang cakap. Ia kurang mengerti seluk beluk perpolitikan dan pemerintahan. Sehingga kadang kebijakanannya banyak bertolak belakang. Ia kelihatan alim dan berperilaku sebagai rajaresi. Tetapi kebijakannya justru para pendeta banyak yang menjadi korban. 
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian). 
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah dengan baik. Tapa brata seperti yang dilakukannya hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan engkau berpura-pura rajin puasa).
Meskipun hidup seperti seorang resi, justru pada zaman Prabu Ratu dewata ini banyak ahli agama / padita yang dianiaya. Dalam Naskah Carita Parahyangan menceritakan hal ini. Seorang Pandita yang sakti dari Sumedang di aniaya, Sang pandita di Ciranjang dibunuh tanpa dosa, dan Sang pandita di Jayagiri buang ke sagara (laut / danau/ sungai besar)..
Rupanya penulis kisah kuno ini melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
Tentang Prabu Ratu Dewata dalam Naskah Carita parahiyangan secara lengkap menceritakan:
Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.
Serangan dari pasukan luar ke Pakuan
Pada zaman Prabu Ratu Dewata diuntungkan karena perjanjian yang dibuat ayahnya, Prabu Surawisesa dengan penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sehingga di masanya nyaris tidak ada peperangan yang melibatkan kedua negara secara terang terangan.
Pada masanya perjanjian perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku. Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Tetapi ada sebagian pasukan dari Banten yang merasa kurang puas terhadap isi perjanjian tersebut. Sehingga pasukan banten tersebut kemudian menyerang ibukota Pajajaran, Pakuan. Ada yang mengatakan bahwa pasukan tersebut memang di bentuk oleh Pangeran Maulana Hasanuddin. 
Maulana Hasanuddin diyakini membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya.

Dalam menghadapi serangan tersebut, Ratu Dewata beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa, dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.
Dalam pertempuran melawan pemberontak di ibukota tersebut, ada 2 pejabat Pajajaran yang gugur, yaitu Tohaan (Raja) Sarendet jeung Tohaan (Raja) Ratu Sanghiang. Prabu Ratu Dewata berkuasa selama 8 tahun, dan tahaun ke-9, ia meninggal dunia.
SUKSESI PADA TAHUN 1543 M
Ketika wilayah Banten, di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin telah berkembang menjadi ibukota dan pusat kekuasaan islam yang terpenting, melebihi saudara tuanya (cirebon) dimana ayahnya (sunan Gunung Jati) berkuasa. Sehingga Maulana Hasanuddin seolah telah menjadi seorang penguasa yang independen, meskipun ia masih mengakui Cirebon sebagai pusat kekuaasaanya. Karena itu konflik dengan ibukota Pajajaran, Pakuan, seolah telah menjadi kebijakannya yang independen tidak harus menunggu perintah dari ayahnya di Cirebon.
Karena masih terikat oleh perjanjian yang dialkukan oleh ayahnya dan juga diikuti oleh dirinya, sehingga Maulana Hasanuddin tidak bisa menyerang secara terbuka ke ibukota Pakuan. Meskipun komplik tetap ada , dan kadang ia sendiri selalu melakukan serangan mendadak, meskipun secara diam diam. Seperti yang dilakukannya ketika Prabu Ratu Dewata masih hidup.
Sedang dipihak Pakuan Pajajaran, pada tahun 1543 M, terjadi suksesi kekuasaan. Prabu Ratu dewata meninggal dunia, diganti oleh anaknya yang bernama Ratu Sakti. Dengan demikian, Ratu sakti merupakan raja yang ke-3, raja yang ia hadapi, dalam masa kekuasaannya di Banten.

Kebijakan Ratu Sakti (mp. 1543-1551 M)
Dalam Naskah carita parahiyanga kekuasaan Ratu Sakti diungkapkan sebagai berikut:
Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.
Sang Ratusakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun 1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Ia berkuasa disaat yang tiada menentu, ancaman dari Banten dan juga Cirebon, telah membuat masyarakat Pakuan dan pajajaran pada situasi yang tidak menentu. Ia berbeda pendapat dalam mengatasi pemerintaannya yang tidak menguntungkan itu.

Untuk mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim. Ia bersikap sebaliknya, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Di samping lalim terhadap rakyatnya, ia juga membuat perpecahan di kalangan istana Pakuan. Ia dikecam bukan karena kebijakannya saja, tetapi karena ia dianggap melanggar undang undang yang menjadi dasar dalam perkawinan di kalangan istana. Raja telah melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
Setelah diturunkan dari tahta, kemudian para pembesar istana di pakuan mengangkat Sang Nikalendra atau Tohaan di Majaya.
SUKSESI PAKUAN TAHUN 1551 M
Ketika eksistensi banten mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin, justru di pusat kerajaan Pakuan sedang mengalami degradasi kekuasaan yang akut. Pada tahun 1551 M terjadi suksesi kekuasaan, karena rajanya diturunkan secara paksa. Sehingga Maulana Hasanuddin menghadapi raja ke-4, daripakuan Pajajaran. 
Sang Nikalendra atau Tohaan Di Majaya, berkuasa tidak banyak membawa perubahan dalam sikapnya berkuasa. Ia sendiri seolah kebingungan dalam melakukan kebijakannya, malah terjebak pada poya poya. Sedang di lain pihak, Maulana Hasanuddin dari Banten seolah sedang melakukan serang besar besaran ke negeri negeri yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Putra dari maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf telah menjadi panglima perang dari Banten yang saangat ditakuti oleh pasukan pasukan Pajajaran.
Tentang kekuasaan Sang Nikalendra yang berkuasa di pakuan di ceritakan alam naskah carita parahiyangan.
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita.
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.
Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Pada masanya Maulana Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf.
Prabu Nikalendra banyak mengalami kekalahan dalam peperangan, sehingga Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para panglima dan para prajurityang ditinggalkan. 
Dan ia sendiri meninggal pada tahun 1567 M, dan ia diganttikan oleh anaknya, yang berrnama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakencana.

AKHIR PAKUAN JATUH (1579 M)
Di akhir Naskah carita Parahiyangan, diceritakan sebagai berikut:
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana (Prabu Nusa Mulya dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana) menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. 
Prabu Suryakanacana atau prabu Nusa Mulya tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya, sejak Sang Nikalendra, mengalamii berbagai kekalahan dalam peperangan melawan Banten dan juga Cirebon. Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Diakhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.

Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.

Suksesi Di Banten tahun 1570 M
Pada tahun 1570 M, Sultan Maulana Hasanuddin meninggal dunia, sehingga kekuasaannya jatuh ke putra sulungnya, Maulana Yusuf. Sulyan Maulana Yusuf sebelum menjadi raja dikenal sebagai panglima yang paling agresif dalam menaklukan wilayah wilayah Pajajaran. Karena itu setelah berkuasa ia kemudian menabuh genderang untuk menguasai ibukota Pajajaran, Pakuan, yang telah ditinggalkan oleh penguasanya sejak tahun 1567M.
Setelah ditinggalkan oleh penguasanya pada tahun 1567 M, Pasukan syek yusuf sangat sulit untuk menembus ibukota Pakuan tersebut. Ibukota Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sangat tangguh untuk ditembus oleh musuh.
Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Pasukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota pada tahun 1579 M.

Pajajaran Burak tahun 1579 M
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.
Dalam Pustaka Nusantara, tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
” Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan:
“ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

Simbol Kekuasaan Pajajaran
Meskipun Syekh Yusuf dan pasukannya dapat menguasai ibukota pajajaran, pakuan, tetapi ia gagal dalam mengamankan simbol simbol kekuasaan dari negeri pajajaran tersebut. Dari 2 simbol yang bisa dianggap sah menjadi penguasa seluruh negeri Pajajaran, ia hanya bisa menyelamatkan 1 simbol saja, yaitu Palangka Sriman Sriwacana, tempat untuk mensyahkan raja, sedang simbol raja yang berupa mahkota ia tidak dapatkan.
Ada 2 simbol kekuasaan raja pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa pajajaran sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk batu, yang dinamakan Palangka Sriman dan yang kedua adalah mahkota raja. Maulana Yusuf karena masih merupakan cicit dari Mahraja jayadewata merasa berhak atas lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa palangka sriman sri wacana ke banten surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut mahkota sebagai lambang sah kerajaan pajajaran.
Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf kemudian memboyong benda-benda yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).

Palangka Sriman, yang merupakan simbol tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan Banten oleh Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten karena tradisi politik Sunda waktu itu mengharuskan demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.

Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang. Mahkota ini diselamatkan oleh empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa Sumedang larang. Sehingga dalam sejarah sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke kekuasaan kerajaan Sumedang larang.

Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (EmbahNangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.

Dengan demikian, meskipun Pakuan pajajaran dapat ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari banten, tetapi karena gagal mendapatkan mahkota, maka Banten tidak pernah bisa menguasai seluruh bekas kerajaan pajajaran, dan justru seluruh eks wilayah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh cirebon dan juga Banten jatuh ke kerajaan Sumedang Larang.

Monday 4 November 2019

Kerajaan Sunda Galuh

Di Indonesia sangat banyak kerajaan-kerajaan baik yang bercorak Islam, Hindu ataupun Buddha. Khusus untuk di pulau Jawa ada sebuah kerajaan setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara yang terletak di Jawa Barat yaitu kerajaan Sunda Galuh.
Kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu terakhir di Tatar Sunda. Yang merupakan sebuah kerajaan kombinasi dari dua kerajaan besar disunda, yaitu kerajaan Sunda dan Galuh Raya.
Kerajaan Sunda Galuh didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama Hindu.
Sejarah Kerajaan Sunda Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras.
Kemudian sumber tertulis dari luar negri yang menyebut nama Sunda kemudian, sebagian besar berasal dari abad ke-14 dan ke-15, antara lain dari berita Cina dan Portugis. Berita yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1643) itu antara lain menyebutkan nama Sun-ta. Nama itu dianggap sebagai lafal Cina dari Sunda yang ketika itu berperan dalam sejarah Tatar Sunda. Hal itu tidak bertentangan dengan berita yang berasal dari Tome Pires yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara yang di Tatar Sunda mempunyai hubungan niaga dengan portugis adalah Regno de Cumda ‘Kerajaan Sunda’. Demikian yang halnya dengan Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada. Bahkan, dari dari masa yang sama itu juga terdapat kesaksian seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaens, Camoes, mengenai kehadiran negara yang bernama Sunda.
Naskah Pararaton (1357 M) dan Nagarakertagama pupuh XIII, XIV dari zaman kerajaan Majapahit dengan tegas menyebutkan keberadaan Sunda sebagai sebuah kerajaan dan wilayahnya.

Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran). Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindhu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16, yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627.
Batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes dan sungai Ciserayu yang saat ini disebut Kali Serayu di Provinsi Jawa Tengah.
Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda dan mendirikan Kerajaan Sunda , Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Sukiapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 16 Mei 669 M). Batas kerajaan Sunda dan Galuh dipisahkan oleh Sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.

Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga). Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.

Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang. Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep keluarga kerajaan Sunda sebagai ikatan politik.

Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan. Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.

Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.

Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk. Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
  1. Galuh Pakuan beribukota di Kawali
  2. Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
  3. Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
  4. Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
  5. Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
  6. Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
  7. Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
  8. Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan. Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.

Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Raja-raja Kerajaan Sunda Galuh
  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
  4. Rakeyan Banga (739 – 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
  10. Windusakti Prabu D̩wageng (895 Р913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
  15. Munding Ganawirya (964 – 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
  17. Brajawis̩sa (989 Р1012)
  18. D̩wa Sanghyang (1012 Р1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokt̩ng Winduraja, 1042 Р1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokt̩ng Kerta, 1065 Р1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu M̩nakluhur (1155 Р1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokt̩ng Winduraja, 1157 Р1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokt̩ng Taman, 1297 Р1303)
  27. Citraganda (Sang Mokt̩ng Tanjung, 1303 Р1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
  33. Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
  35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

Selanjutnya diceritakan perabu Wangi yang bernama Perabu Niskala Wastukencana yang menjadi raja selama 104 tahun. Penggantinya adalah Sang Ratu Jayadewata yang menjadi Raja selama 39 tahun, kemudian di gantikan oleh Raja selanjutnya adalah perabu Ratudewata yang memerintah selama delapan tahun. Kemudian ia di gantikan oleh sang Ratu Saksi Sang Mangabatan yang menjadi Raja selama delapan tahun. Iya digantikan oleh Tohaan di Majaya, selanjutnya raja ini digantikan oleh sang Nilakendala yang pekerjaannya hanya bersenang-senang selama 16 tahun Raja Sunda terakhir adalah Nusia Mulya yang memerintah selama 12 tahun hingga datang serangan islam, dari Demak dan Cirebon.

Sistem Kepercayaan Masyarakat pada Zaman Kerajaan Sunda Galuh
Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama Hindu, sebagaimana disebutkan antara lain dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), Prasasti Kawali, Carita Parahiyangan (CP) (awal abad ke-16), Sewaka Darma (SD) atau Serat Dewa Buda (SDB) (1435), Serat Catur Bumi (SCB), Sanghyang Raga Dewata (SRG), Kawih Paningkes (KP), Jati Niskala (JN), serta Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) (1516 M).
Sejak akhir abad ke-15, muncul ajaran agama yang menekankan pemujaan terhadap hiyang yang ditujukan oleh adanya “penurunan” derajat dewata berada di bawah hiyang. Munculnya tafsiran ajaran agama itu berpangkal pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu “ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang”, (“raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang”). Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental (1513-1515), menulis demikian, “ Raja Sunda memuja berhala, demikian pula semua pembesar kerajaanya.”

Hal itu sejalan dengan kelanjutan isi naskah itu ketika mengisahkan penguasa alam selesai menciptakan dunia
/ Sakala batara jagat ngretakeun bumi niskala. Basana : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah bakti ka Batara! Basana : kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara! Sing para dewata kabeh bakti ka Batara Sedah Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan pretyasa.
Terjemahnya sebagai berikut.
“Suara penguasa alam ketika menyempurnakan dunia abadi. Ujarnya : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua Berbakti kepad Batara Seada Niskala. Semua menemuakan “yang Hak” dan “yang Wujud”.

Kedua kutipan itu menunjukan bahwa hiyang adalah Batara Seda Niskala ‘Tuhan yang maha gaib’. Tokoh yang menempati kedudukan amat tinngi, yaitu sebagai tujuan akhir perjalanan bakti manusia. Sanghyang Siksakandang Karesian menekankan perbedaan antara surga (tempat dewa), dan kahiyangan (tempat hiyang). Masuk suga disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut mokta. Di dalam Sewaka Darma disebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai kelepasan jiwa akan datang di kahiyangan.
Prasati Kawali 4 menyebutkan Sanghyang lingga hiyang, lingga yang di anggap sebagai hiyang. Lingga di dalam ajara Saiwa Siddhanta yang berkembang di Jawa dan Bali, adalah lambang dewa Siwa dan lambang kehampaan. Dalam Jnanasiddhanta diuraikan tentang “Atmalingga-linggodhbawa”, antara lain bahwa linggodhbawa mempunyai dua aspek utama, yaitu Siwalingga dan Atmalingga yang menunjuk pada “arah-arah” penyatuan diri dengan kehampaan atau Siwa. Siwalingga merupakan tahap Siwa memesuki badan manusia dan Atmalingga merupakan tahap jiwa menyatu dengan Siwa melalui ubun-ubun atau melalui lingga khususnya pada malam Siwa (Siwaratri). Ajaran tentang Atmalingga merupakan puncak ajaran Saiwa Sidhanta.

Ajaran tentang kelepasan jiwa diuraikan dalam Sewaka Darma melalui tahap-tahap pelepasan jiwa, mulai dari persiapan jiwa menghadapi maut sebagai pintu gerbang pelepasan jiwa sampai perjalanan jiwa setelah meninggalkan “penjaranya” berupa jasad (wadah) dan kehidupan duniawi. Setiap jiwa yang sempurna menjalankan Sewaka Darma akan tiba di bumi kencana, tempat jati niskala. Itulah ujung dari perjalanan jiwa karena disanalah terletak keabadian. Kebahagiaan sejati (moksa) digambarkan sebagai tertera di bawah ini:
/ Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik (a) pati, sorga tanpa balik (ku) papa, hayu tanpa balik (ku) haya, (no) han tanpa balik wogan, moksa leupas tanpa balik (u) wulan. Twatwag ka jati niskala.
Terjemahnya adalah sebagai berikut:
‘Suka tanpa duka, kenyang tanpa lapar, hidup tanpa mati, bahagia tanpa derita, baik tanpa buruk, pasti tanpa kebetulan, kelepasan jiwa tanpa kembali. Tiba pada keabadian sejati.’

Jiwa yang mencapai moksa digambarkan berada dalam dunia hening tanpa suara, hampa tanpa wujud, lembut tanpa jasad (sarwa tunggal wirsesa). Pada akhir naskah disebutkan, “Seruanku menyembah Siwa karena memohon dengan tekun ajaran entang maut”. Di dalam naskah jati niskala, disebutkan inti dunia terlihat pada kejernihan dalam menembus dunia niskala. Kalimat sejenis juga terdapat dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) “mokta tanpa kenyataan, gaib tanpa wujud , menjadi hiyang tanpa menjadi dewa kembali. Itulah yang disebut paramalenyep.
Naskah carita parahiyangan menyebutkan bahwa seoarng wiku harus menaati Jati Sunda, berpegang teguh pada ajaran darma dan menjalankan ajaran sanghiyang siksa. Penyebutan Jati Sunda terdapat pula pada masyarakat Kanekes (Baduy) di Banten Selatan dengan sebutan Sunda Wiwitan, agama mereka sekarang, kata yang searti dengan Jati Sunda. pada prinsipnya, ajaran yang terkandung dalam agama itu adalah kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun ‘Yang Menghendaki’, atau Sanghiyang Karesa ‘Yang Mahakuasa’, atau Batara Tunggal ‘Yang Maha Esa’. Ia bersemayam di Buana nyungcung, lapisan dunia paling atas.
Sanghiyang Keresa dapat disamakan dengan Batara Seda Niskala yang disebutkan dalam naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian. Atau Sang Hiyang Pramana ‘Yang Mahakuasa’, dalam naskah Serat Catur Bumi (SCB): 68 a, dan Sang Hiyang Raga Dewata ‘Maha Pencipta’ dalam naskah Sang Hiyang Raga Dewata. Kelepasan adalah kebebasan maha sempurna.

Naskah SSK memberikan keterangan bagaimana sifat-sifat agama Buddha pada masa tersebut. Dikatakan bahwa Dasakreta adalah bayang-bayang dasasila yang merupakan hakikat Dasamarga yang bersumber pada dasaindriya. Keterangan itu menunjukan bahwa ajaran dasar Buddhisme telah di kembangkan dan di terapkan ke dalam kehidupan sehari-hari yang praktis. Kenegatifan ajaran Buddha di dalam dasasila (sepuluh larangan), di ubah menjadi kepositifan di dalam bentuk Dasmarga (sepuluh jalan), yang pelaksanaanya di gariskan pada Dasakreta (sepuluh tindakan). Keberhasilan dari pelaksanaan ajaran itu, bergantung pada orang yang menjalaninya. Oleh karena itu, Dasakreta harus dilandasi oleh pemahaman Dasaindriya (sepuluh drya) yang terdapat di dalam raga manusia. Bila hal itu di laksanakan sebagaimana mestinya, maka segera akan makmur, rakyat akan sejahtera, bumi akan subur, dan kehidupan dunia pun akan sentosa.
Uraian itu memperlihatkan bahwa sebenarnya naskah-naskah itu ditujukan untuk masyarakat luas yang beragama luas yang beragama Siwa dan Buddha. Pada masa sebelumnya sangat mungkin ajaran itu di uraikan secara lisan dari guru kepada murid-muridnya, kemudian pada akhir kerajaan Sunda, ketika agama Islam mulai terasa mengancam, muncul inisiatif untuk membukukan ajaran agama Hindu dan Buddha dalamsatu buku sehingga dapat di baca masyarakat luas. Dalam hal keagamaan, mungkin itulah benteng terakhir raja-raja Sunda mempertahankan kehidupan Buddhanya walaupun secara tersirat di ketahui bahwa sebenarnya naskah-naskah ini mengajarkan “kelepasan jiwa” sebagai hakikat tertinggi dari tujuan akhir manusia.

Pada masa itu menurut SKK: 18, terdapat para ahli dalam bidang keagamaan, misalnya pratanda ‘seorang ahli agama dan parigama’, brahmana ‘seorang ahli mantra’, janggan ‘seorang ahli dalam puja dan sanggar’, dan pandita ‘seorang ahli kitab’.
Sebelum Portugis menguasai Malaka, jalur perniagaan di Kepulauan Nusantara Senantiasa melewati Selat Malaka, baik yang bertujuan ke Cina maupun ke Maluku. Oleh karena itu, pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Pesisir Utara Kerajaan Sunda kurang berkembang meskipun tetap terlihat dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Seiring dengan penguasaan Malaka oleh Portugis, Selat Sunda memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Hal tersebut dimungkinkan karena para pedagang Muslim merasa enggan untuk berdagang melalui selat Malaka. Mereka lebih senang melalui Selat Sunda dengan menggunakan rute Aceh-Pantai Barat Sumatra, Selat Sunda Pesisir Utara Pulau Jawa, Nusa Tenggara-Maluku sebagai jalur perdagangan karena dinilai lebih aman.

Akibatnya pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di sepanjang Pesisr Utara Kerajaan Sunda semakin memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di kepulauan Nusantara.
Bagi Kerajan Sunda, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut memberikan keuntungan yang signifikan bagi perkembangan perekonomiannya. Sektor perdagangan semakin memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Sunda. Di pihak lain, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut melahirkan kekhawatiran yang semakin besar dikalangan pengusaha Sunda karena perkembangan tersebut didiringi pula dengan masuknya faktor yang bisa menghancurkan negara. Faktor tersebut adalah semakin banyaknya sodagar islam yang sehingga dipelabuhan-pelabuhan Kerajan Sunda. Penguasa sunda terasa khawatir dengan kenyataan tersebut karena dengan demikan afama Islam di Kerajan Sunda sudah cukup kuat seiring dengan tumbuhnya cirebon tersebut merupakan ancaman serius terhadap eksistensinya karena daerah ini telah mengembangkan kehidupan yang ber cocok Islam.

Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Sang Ratu Jayadewata (Raja Sunda) berusaha untuk membatasi pandangan muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaannya. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para perdagangan muslim. Namun demikian, upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan dengan upaya pembatasan yang dilakukan oleh Raja Sunda tersebut. Bahan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman Kerajaan Sunda sehingga kekhawatiran hancurnya negara semakin besar di kalangan penguasa Sunda.
Upaya lain yang dilakukan oleh kerajan Sunda dalam rangka membatasi pengaruh Islam di Negara adalah mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki ideologi sama dengan Kerajan Sunda. Mengetahui bahwa di Malaka telah berkuasa bangsa Protugis yang juga memusihi islam, Sang Ratu Jayadewata memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Protugis, kerajan dunda dapat mengimbangi kekuatan pasukan Kerajan Demak-Cirebon yang sedang berupaya menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Demikan juga dengan persahabatan ini, Pengaruh islam yang dibawa oleh para pedagang akan mampu dikontrol dengan ketat.

Untuk mewujudkan persahabatan tersebut, pada tahun 1512 Sang Ratu Jayadewata mengirim beberapa utusannya ke Malaka dibawah pimpinan Ratu Samiam (Sangiang). Mereka berusaha meyakinkan bangsa Protugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajan Sunda dengan Protugis. Ratu Sangiang memberikan informasi bahwa sejak protugis berkuasa di Malaka pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda berkembang dengan pesat sehingga cukup memegang peranan penting dalam jalur perdagangan di Nudantara. Oleh karena itu, Ratu Sanghiang memberikan penawaran kepada Protugis untuk melakukan perdagangan secara bebas dipelabuhan-pelabuhan milik Kerajan Sunda. Sebagai imbalnya Ratu Sangiang mengharapkan bantuan militer dari Protugis apabila kerajan Sunda diserang oleh Kerajan Demak-Cirebon.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Sundapura

Sundapura mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya darikekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh).Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:

• Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
• Galuh Pakuan beribukota di Kawali
• Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
• Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
• Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
• Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
• Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
• Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
• Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
• Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan

Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang.

Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.

Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.
Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.

Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.

Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. 

Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.

Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.

Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.

Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Pembantaian Bubat adalah sebagai berikut ;
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.

Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu perkelahian besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung.

Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran.

Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan Sumedang Larang (ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.

Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.

Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena memiliki anak yang sangat banyak.

Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur, keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun 1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10