Search This Blog

Wednesday 25 September 2019

Prasasti Peninggalan Kerajaan Pajajaran

1. Prasasti Cikapundung
2. Prasasti Huludayeuh
3. Prasasti Pasir Datar
4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis
5. Prasasti Ulubelu
6. Situs Karangkamulyan
7. Prasasti Kebon Kopi II
8. Prasasti Batutulis

Isi Prasasti 
Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, 
diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana 
di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata 
pun ya nu nyusuk na pakwan 
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang 
Terjemahan 
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum 
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, 
dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. 
Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. 
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. 
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi" 
Daftar Isi Artikel Ini
Prasasti Cikapundung ditemukan oleh warga daerah di sekitar Sungai Cikapundung, Bandung pada tanggal 8 Oktober 2010. Dalam Batu Prasasti ini mempunyai tulisan Sunda kuno yang menurut perkiraan berasal dari abad ke-14. Tidak hanya ada huruf Sunda kuno, pada prasasti terdapat beberapa gambar seperti telapak tangan, wajah, telapak kaki dan juga 2 baris huruf Sunda kuno dengan tulisan ” unggal jagat jalmah hendap” dengan arti semua manusia di dunia ini dapat mengalami sesuatu apapun. Seorang peneliti utama dari Balai Arkeologi Bandung yaitu Lufti Yondri berkata kalau prasasti itu adalah Prasasti Cikapundung.

Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu.

Prasasti Cikapundung ini merupakan termasuk satu temuan baru di kawasan Bandung dari masa klasik, terutama ini juga terkait dengan (kerajaan) Padjadjaran. Beberapa ahli juga menemukan beberapa arca di sekitar Cikapundung yang berbeda dengan arca-arca klasik yang lainnya, dan disebut dengan Arca Cikapundung.

Tulisan Sunda kuno yang terdapat pada prasasti mengandung makna tersendiri. Hal itu juga dapat dilihat dari gambar telapak kaki yang ada pada prasasti tersebut. Ditafsirkan oleh para ahli, gambar telapak kaki ini merupakan lambang dari penguasa. Atau ini juga melambangkan hegemoni, daerah kekuasaan dari raja itu.

Sebelumnya sejumlah peninggalan bersejarah juga di kota Bandung. Berdasarkan sejarah berabad-abad silam di kota Bandung, khususnya di sepanjang aliran sungai Cikapundung, terdapat beberapa kerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Padjadjaran. Maka tak heran, di sekitar sungai Cikapundung beberapa kali ditemukan benda bersejarah, seperti arca Padjadjaran atau arca Cikapundung, arca Durga, dan yang terakhir prasasti Cikapundung ini. Menurut para peneliti berbagai peninggalan bersejarah tersebut berasal dari jaman paleolitikum, neolitikum, hingga jaman kolonial Belanda.

Prasasti Huludayeuh terletak di bagian tengah sawah di Kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber setelah pemekaran Wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang, Cirebon. Prasasti ini sudah sejak lama diketahui oleh masyarakat sekitar akan namun untuk para arkeologi dan juga ahli sejarah baru mengetahui keberadaan prasasti itu di bulan September 1991. Isi dari prasasti itu terdiri dari 11 baris tulisan beraksa serta bahasa Sunda kuno. Naun batu prasasti itu ditemukan dalam keadaan yang sudah tidak utuh serta membuat beberapa aksara juga ikut hilang. Permukaan batu prasasti itu juga sudah agak rusak serta beberapa tulisan sudah aus sehingga beberapa isi dari prasasti itu tidak bisa terbaca. Secara garis besar, prasasti ini menceritakan mengenai Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang berkaitan dengan beberapa usaha untuk membuat makmur negerinya.
Secara administrasi Situs Huludayeuh berada di Kampung Huludayeuh, Desa Bobos, Kecamatan Sumber, dengan ketinggian ± 73 m dari permuakaan air laut. Sungai yang mengalir di daerah ini adalah Sungai Cimanggung.Wilayah ini merupakan daerah pegunungan, sedang sekitar prasasti berupa pesawahan rakyat yang subur dan produktif, dengan menggunakan sistem sengked (bertingkat). Situs Huludayeuh berada ± 15 km sebelah baratdaya dari Kota Cirebon atau ± 7 km sebelah utara dari Situs Kawali, Kabupaten Ciamis. Untuk mencapai lokasi situs dari kedua daerah tersebut (Cirebon dan Kawali) dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat hingga Desa Bobos. Selanjutnya menelusuri jalan setapak berupa pematang sawah sejauh ± 150 meter.

Kemunculan situs ini berawal laporan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cirebon yang tertuang dalam Surat Nomor 1516/i02.18/J-1991 tanggal 27 Julli 1991, tentang penemuan benda purbakala yang ditujukan kepada Kepala Bidang Permusemuan, Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat. Laporan tersebut dialmpiri dengan dekripsi singkat. Batu Prasasti Huludayeuh ini ditemukan di tanah milik Martawi (60 Tahun), penduduk setempat pada tanggal 27 Februari 1991. Selanjutnya informasi itu semakin terangkat ketika bulan September dan Oktober media massa Pikiran Rakyat, Kompas dan Bahari memuat berita temuan prasasti ini. 

Hingga saat ini sudah beberapa kali telah dilakukan penanganan dalam rangka pelestarian dan penelitian, baik oleh Bidang Muskala Kanwil Depdikbud Jabar, Suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala, Balai Arkeologi Bandung dan Puslit arkenas Jakarta. Sejak ditemukan batu prasasti dianggap keramat oleh penduduk setempat, hingga keberadaan prasasti tersebut dipertahankan oleh penduduk setempat. 

Prasasti Huludayeuh 
Lingkungan mikro objek prasasti ini cukup terpelihara, prasasti menempati tanah negara seluas 10x10 m dengan bangunan cungkup 4x4 m. Bangunan cungkup berkonstruksi kayu tetapi dengan tiang pilar cor, atap sirap kayu dan lantainya berupa hamparan batu kali tanpa disemen.Disamping itu sekeliling area diberi pagar kawat berduri dengan tinggi 120 m. Bangunan cungkup ini cukup untuk melindungi dari gangguan air hujan dan sengatan terik matahari, tetapi tidak melindungi dari gangguan manusia, seperti pencurian, perusakan dan sebagainya. Sehingga kondisi ini sangat dikhawatirkan faktor keamanan objek warisan budaya yang sangat bernilai ini. Objek dari bahan batu andesit, dengan bentuk lempengan batu yang diberdirikan dan menyatu dengan lantai cungkup yang berupa susunan batu kali yang disemen. 

Peninggalan arkeologi-historis ini hanya berdiri sendiri lepas dari temuan arkeologi-historis lainnya baik bersifat artefaktual maupun fitur. Peninggalan warisan budaya bangsa yang sangat bernilai ini cukup jauh dari pemukiman, lokasi sangat terbuka dapat terlihat dari segala penjuru. Sehingga kondisi sangat mengkhawatirkan keamanannya. Disamping itu dikhawatirkan pula gangguan perluasan areal pesawahan yang sangat produktif, meskipun telah diberi pagar keliling dan cungkup. Kondisi ini menunjukan kurang memaksimalkan pemanfaatan objek arkeologis-historis dengan kepariwisataan, selain itu dikhawatirkan keamanannya. 

Kondisi objek, pada sisi kiri dan kanan dan atas terpenggalsehingga aksara hilang. Selain itu permukaan batu dan tulisan agak aus dan usang. Permukaan batu yang berinskripsi tulisan kuno, relatif rata yang kemungkinan mengalami proses perataan dan penghalusan dengan benda keras. Prasasti memiliki arah hadap ke arah baratdaya. Inskripsi tulisan menggunakan huruf Pasca Pallawa berbahasa Sunda Kuno (lihat gambar/foto). Melihat dari kondisi objek, yang masih dapat terbaca inskripsi tulisan berjumlah 11 baris. Karena adanya kerusakan fisik, sehingga teks tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Berdasarkan paleografi dapat diduga Prasasti Huludayeuh ini sejaman dengan dengan Kayuwangi-Balitung (abad IX-X M.). 


• Isi : - ...tra .. na ...
- .. sri mahharaja ra (ta) 
- (ha) ji ri pakwan/ sya san, ratu
- (de0wata pun/. Masa sya ...
- ... hretaken/ bumi naha ...
- Lipuken/ na bwan/ na ...
- .. narah san dwi sisuk/ laja ...
- - i na rbahken/ ikan, ka ...
- susipadakah. Nalasan/ ...
- na nudubasu. Mipatatka) ...
- is/ nikan, kada pu(n) ... 
Terjemahan : - Prasasti ini dibuat atas perintah Sri Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sya san ratu Dewata sebagai tanda peringatan atas pekerjaan-pekerjaan yang telah dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.

Sejarah Kerajaan PajajaranPrasasti Perjanjian Sunda Portugis adalah prasasti dengan bentuk tugu batu yang berhasil ditemukan tahun 1918 di Jakarta. Prasasti tersebut menjadi tanda dari perjanjian Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Portugis yang dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis dari Malaka yang di pimpin Enrique Leme yang membawa beberapa barang untuk diberikan pada Raja Samian [Sanghyang] yaitu Sang Hyang Surawisesa seorang pangeran yang menjadi pimpinan utusan Raja Sunda.

Prasasti ini dibangun diatas permukaan tanah yang pula ditunjuk sebagai tempat benteng serta gudang orang Portugis. Prasasti ini ditemukan dengan cara melakukan penggalian ketika membangun sebuah gudang di bagian sudut Prinsenstraat yang sekarang menjadi jalan cengkeh dan puls Groenestraat yang sekarang menjadi jalan Kali Besar Timur I dan telah termasuk ke dalam wilayah Jakarta Barat. Sementara untuk replikanya sudah dipamerkan pada Museum Sejarah Jakarta.

Koleksi Padrao di Museum Nasional adalah yang asli. Pada Batu Padrao terdapat tulisan dan simbol bola dunia Raja Manuel dari Portugis yang berarti Portugal adalah tuan dari segala dunia. Prasasti ini merupakan tanda perjanjian perdagangan antara Kerajaan Sunda, sebagai penguasa pelabuhan Sunda Kelapa, dan armada Portugis. Bertanggal 21 Agustus 1522, tulisannya menggunakan aksara Gotik dan berbahasa Portugis. Perjanjian ini dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, raja Sunda 1521-1535). Ia diterima dengan baik. Padrão didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah “Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar Sunda Kelapa”. Saksi dari pihak Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan orang. Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui “selamatan”.
Pada awal abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan perdagangan penting di pantai utara Pulau Jawa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten, termasuk Banten dan Cirebon. Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya itu. Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.

Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut bertepatan dengan diselesaikan penjelajahan dunia oleh Magellan.

Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme, ke Sunda Kalapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 yang berisi naskah perjanjian dan tanda tangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya Da Asia, yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/78.

Menurut sumber-sumber sejarah ini, raja Sunda menyambut hangat kedatangan orang Portugis. Saat itu Prabu Surawisesa telah naik tahta menggantikan ayahandanya dan Barros memanggilnya "raja Samio". Raja Sunda sepakat dengan perjanjian persahabatan dengan raja Portugal dan memutuskan untuk memberikan tanah di mulut Ci Liwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, raja Sunda berjanji jika pembangunan benteng sudah dimulai maka dia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada Portugis. Dokumen kontrak tersebut dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal; keduanya ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.

Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah "Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar" Sunda Kelapa. Saksi dari pihak Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan orang. Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui "selamatan". Sekarang, satu salinan perjanjian ini tersimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara satu salinan lagi disimpan di Arsip Nasional Torre do Tombo, Lisboa.

Pada hari penandatangan perjanjian tersebut, beberapa bangsawan Kerajaan Sunda bersama Enrique Leme dan rombongannya pergi ke tanah yang akan menjadi tempat benteng pertahanan di mulut Ci Liwung. Mereka mendirikan prasasti, yang disebut padrão, di daerah yang sekarang menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Adalah merupakan kebiasaan bangsa Portugis untuk mendirikan padrao saat mereka menemukan tanah baru.

Portugis gagal untuk memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng dikarenakan adanya masalah di Goa/India.

Perjanjian inilah yang memicu serangan tentara Kesultanan Demak ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan berhasil mengusir orang Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Jakarta. 
Prasasti Ulubelu ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung tahun 1936. Meski ditemukan di Lampung, Sumatera Selatan, namun para sejarawan menduga jika aksara yang dipergunakan pada prasasti ini adalah aksara Sunda kuno yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Pajajaran itu. Anggapan ini pun dipekruat dengan wilayah dari Kerajaan Sunda yang juga termasuk wilayah Lampung. Setelah kerajaan Pajajaran runtuh oleh Kesultanan Banten, kekuasaan Sumatera Selatan itu dilanjutkan Kesultanan Banten. Isi dari prasasti ini ialah mantra mengenai permohonan pertolongan yang ditujukan pada para Dewa utama yaitu Batara Guru [Siwa], Wisnu dan Brahma serta Dewa penguasa tanah, air dan pohon supaya keselamatan dari semua musuh bisa didapatkan.
Aksa pada prasasti
Ada sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda.Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Dalam buku The Sultanate of Banten halamaan 19, Claude Guillot menulis: From the beginning it was abviously Hasanuddin's intention to revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaranfor his own benefit. One of his earliest decisions was to travel to southern Sumatra, which in all likelihoodalready belonged to Pajajaran, and from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region. Meskipun demikian, terdapat pendapat lainnya yang menyatakan bahwa aksara berbentuk seperti paku dalam prasasti ini (aksara ka ga nga) merupakan aksara Sumatra yang juga digunakan sebagai aksara Batak, Rejang, dan Lampung, dan merupakan cikal-bakal aksara Lampung pada manuskrip kulit (dalung) pada abad berikutnya hingga sekarang

Prasasti ini ada di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Galuh Hindu Buddha. Situs Karangkamulyan tersebut menceritakan tentang Ciung Wanara berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini kental dengan kisah pahlawan hebat yang memiliki kesaktian serta keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa serta hanya dimiliki oleh Ciung Wanara. Dalam area sekitar 25 Ha itu tersimpan berbagai benda mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang kebanyakan berupa batu.

Batu-batu itu tersebar dengan berbagai bentuk serta beberapa batu yang ada di dalam bangunan strukturnya iti dari tumpukan batu dengan bentuk yang hampir mmirip dan bangunan memiliki sebuah pintu yang membuatnya tampak seperti sebuah kamar. Batu-batu itu memiliki nama dan kisah yang berbeda-beda. Nama-nama itu diberikan oleh masyarakat sekitar yang diperoleh dengan cara menghubungkan kisah Kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, tempat melahirkan, lambang peribadatan, cikahuripan serta tempat sabung.

Prasasti Kebon Kopi II adalah peninggalan dari Kerajaan Sunda Galuh yang ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebon Kopi I yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Tarumanegara. Tapi prasasti ini hilang karena dicuri pada sekitar tahun 1940-an. Seorang pakar bernama F.D.K Bosch pernah mempelajari prasasti itu serta menuliskan jika dalam prasasti ada tulisan bahasa Melayu kuno yang menceritakan mengenai seorang Raja Sunda menduduki tahtanya kembali dan menafsirkan angka tahun kejadian bertarikh 932 Masehi. Prasasti tersebut ditemukan di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat abad ke-19 ketika sedang dilaksanakan penebangan hutan untuk dibuat lahan kebun kopi lalu prasasti ini ada di sekitar 1 km dari batu prasasti Kebonkopi I yaitu Prasasti Tapak Gajah.
Pada tahun 1863, Jonathan Rig, seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (kini Bogor), melaporkan penemuan prasasti di tanahnya. Penemuan prasasti ini dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional Indonesia) di Batavia (kini Jakarta). Karena itulah prasasti ini disebut prasasti Kebon Kopi.
Di kawasan situs Ciaruteun ditemukan beberapa prasasti. Prasasti Kebonkopi I adalah salah satu dari tiga buah prasasti di kawasan ini yang penting nilainya bagi kesejarahan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5-7 M). Dua prasasti lainnya adalah Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Muara Cianten, keduanya ditemukan tidak jauh dari prasasti ini. Prasasti Kebon Kopi I dan Prasasti Ciaruteun telah ditata dan diberi cungkup (atap pendopo peneduh). Sebenarnya ada pula Prasasti Kebonkopi II yang pernah ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari lokasi ini, namun kini prasasti Kebonkopi II telah hilang.
Teks prasasti
Salinan Prasasti Kebonkopi di Museum Sejarah Jakarta.
Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:
~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~
Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam
Terjemahan: 
“Di sini tampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan” 
Prasasti Batutulis diteliti tahun 1806 yaitu dengan pembuatan cetakan tangan Universitas Leiden di Belanda. Pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich pada tahun 1853 dan sampai tahun 1921 sudah terhitung 4 orang ahli yang juga meneliti isi dari Prasasti Batutulis itu, akan tetapi Cornelis Marinus Pleyte menjadi satu-satunya orang yang lebih mengulas mengenai lokasi dari Pakuan, sementara peneliti lain lebih fokus dalam megnartikan isi dari Prasasti. Penelitian dari Pleyte itu dipublikasikan pada tahun 1911 lalu di dalam tulisannya yaitu Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg yang berarti menjadi angkat tahun pada Batutulis dekat Bogor.
ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi 

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

No comments: