Di Indonesia sangat banyak kerajaan-kerajaan baik yang bercorak Islam, Hindu ataupun Buddha. Khusus untuk di pulau Jawa ada sebuah kerajaan setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara yang terletak di Jawa Barat yaitu kerajaan Sunda Galuh.
Kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu terakhir di Tatar Sunda. Yang merupakan sebuah kerajaan kombinasi dari dua kerajaan besar disunda, yaitu kerajaan Sunda dan Galuh Raya.
Kerajaan Sunda Galuh didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama Hindu.
Sejarah Kerajaan Sunda Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras.
Kemudian sumber tertulis dari luar negri yang menyebut nama Sunda kemudian, sebagian besar berasal dari abad ke-14 dan ke-15, antara lain dari berita Cina dan Portugis. Berita yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1643) itu antara lain menyebutkan nama Sun-ta. Nama itu dianggap sebagai lafal Cina dari Sunda yang ketika itu berperan dalam sejarah Tatar Sunda. Hal itu tidak bertentangan dengan berita yang berasal dari Tome Pires yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara yang di Tatar Sunda mempunyai hubungan niaga dengan portugis adalah Regno de Cumda ‘Kerajaan Sunda’. Demikian yang halnya dengan Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada. Bahkan, dari dari masa yang sama itu juga terdapat kesaksian seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaens, Camoes, mengenai kehadiran negara yang bernama Sunda.
Naskah Pararaton (1357 M) dan Nagarakertagama pupuh XIII, XIV dari zaman kerajaan Majapahit dengan tegas menyebutkan keberadaan Sunda sebagai sebuah kerajaan dan wilayahnya.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran). Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindhu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16, yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627.
Batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes dan sungai Ciserayu yang saat ini disebut Kali Serayu di Provinsi Jawa Tengah.
Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda dan mendirikan Kerajaan Sunda , Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Sukiapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 16 Mei 669 M). Batas kerajaan Sunda dan Galuh dipisahkan oleh Sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga). Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.
Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang. Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep keluarga kerajaan Sunda sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan. Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk. Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
- Galuh Pakuan beribukota di Kawali
- Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
- Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
- Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
- Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
- Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
- Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
- Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan. Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Raja-raja Kerajaan Sunda Galuh
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
- Rakeyan Banga (739 – 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
- Munding Ganawirya (964 – 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
- Brajawisésa (989 – 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
- Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Selanjutnya diceritakan perabu Wangi yang bernama Perabu Niskala Wastukencana yang menjadi raja selama 104 tahun. Penggantinya adalah Sang Ratu Jayadewata yang menjadi Raja selama 39 tahun, kemudian di gantikan oleh Raja selanjutnya adalah perabu Ratudewata yang memerintah selama delapan tahun. Kemudian ia di gantikan oleh sang Ratu Saksi Sang Mangabatan yang menjadi Raja selama delapan tahun. Iya digantikan oleh Tohaan di Majaya, selanjutnya raja ini digantikan oleh sang Nilakendala yang pekerjaannya hanya bersenang-senang selama 16 tahun Raja Sunda terakhir adalah Nusia Mulya yang memerintah selama 12 tahun hingga datang serangan islam, dari Demak dan Cirebon.
Sistem Kepercayaan Masyarakat pada Zaman Kerajaan Sunda Galuh
Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama Hindu, sebagaimana disebutkan antara lain dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), Prasasti Kawali, Carita Parahiyangan (CP) (awal abad ke-16), Sewaka Darma (SD) atau Serat Dewa Buda (SDB) (1435), Serat Catur Bumi (SCB), Sanghyang Raga Dewata (SRG), Kawih Paningkes (KP), Jati Niskala (JN), serta Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) (1516 M).
Sejak akhir abad ke-15, muncul ajaran agama yang menekankan pemujaan terhadap hiyang yang ditujukan oleh adanya “penurunan” derajat dewata berada di bawah hiyang. Munculnya tafsiran ajaran agama itu berpangkal pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu “ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang”, (“raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang”). Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental (1513-1515), menulis demikian, “ Raja Sunda memuja berhala, demikian pula semua pembesar kerajaanya.”
Hal itu sejalan dengan kelanjutan isi naskah itu ketika mengisahkan penguasa alam selesai menciptakan dunia
/ Sakala batara jagat ngretakeun bumi niskala. Basana : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah bakti ka Batara! Basana : kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara! Sing para dewata kabeh bakti ka Batara Sedah Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan pretyasa.
Terjemahnya sebagai berikut.
“Suara penguasa alam ketika menyempurnakan dunia abadi. Ujarnya : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua Berbakti kepad Batara Seada Niskala. Semua menemuakan “yang Hak” dan “yang Wujud”.
Kedua kutipan itu menunjukan bahwa hiyang adalah Batara Seda Niskala ‘Tuhan yang maha gaib’. Tokoh yang menempati kedudukan amat tinngi, yaitu sebagai tujuan akhir perjalanan bakti manusia. Sanghyang Siksakandang Karesian menekankan perbedaan antara surga (tempat dewa), dan kahiyangan (tempat hiyang). Masuk suga disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut mokta. Di dalam Sewaka Darma disebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai kelepasan jiwa akan datang di kahiyangan.
Prasati Kawali 4 menyebutkan Sanghyang lingga hiyang, lingga yang di anggap sebagai hiyang. Lingga di dalam ajara Saiwa Siddhanta yang berkembang di Jawa dan Bali, adalah lambang dewa Siwa dan lambang kehampaan. Dalam Jnanasiddhanta diuraikan tentang “Atmalingga-linggodhbawa”, antara lain bahwa linggodhbawa mempunyai dua aspek utama, yaitu Siwalingga dan Atmalingga yang menunjuk pada “arah-arah” penyatuan diri dengan kehampaan atau Siwa. Siwalingga merupakan tahap Siwa memesuki badan manusia dan Atmalingga merupakan tahap jiwa menyatu dengan Siwa melalui ubun-ubun atau melalui lingga khususnya pada malam Siwa (Siwaratri). Ajaran tentang Atmalingga merupakan puncak ajaran Saiwa Sidhanta.
Ajaran tentang kelepasan jiwa diuraikan dalam Sewaka Darma melalui tahap-tahap pelepasan jiwa, mulai dari persiapan jiwa menghadapi maut sebagai pintu gerbang pelepasan jiwa sampai perjalanan jiwa setelah meninggalkan “penjaranya” berupa jasad (wadah) dan kehidupan duniawi. Setiap jiwa yang sempurna menjalankan Sewaka Darma akan tiba di bumi kencana, tempat jati niskala. Itulah ujung dari perjalanan jiwa karena disanalah terletak keabadian. Kebahagiaan sejati (moksa) digambarkan sebagai tertera di bawah ini:
/ Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik (a) pati, sorga tanpa balik (ku) papa, hayu tanpa balik (ku) haya, (no) han tanpa balik wogan, moksa leupas tanpa balik (u) wulan. Twatwag ka jati niskala.
Terjemahnya adalah sebagai berikut:
‘Suka tanpa duka, kenyang tanpa lapar, hidup tanpa mati, bahagia tanpa derita, baik tanpa buruk, pasti tanpa kebetulan, kelepasan jiwa tanpa kembali. Tiba pada keabadian sejati.’
Jiwa yang mencapai moksa digambarkan berada dalam dunia hening tanpa suara, hampa tanpa wujud, lembut tanpa jasad (sarwa tunggal wirsesa). Pada akhir naskah disebutkan, “Seruanku menyembah Siwa karena memohon dengan tekun ajaran entang maut”. Di dalam naskah jati niskala, disebutkan inti dunia terlihat pada kejernihan dalam menembus dunia niskala. Kalimat sejenis juga terdapat dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) “mokta tanpa kenyataan, gaib tanpa wujud , menjadi hiyang tanpa menjadi dewa kembali. Itulah yang disebut paramalenyep.
Naskah carita parahiyangan menyebutkan bahwa seoarng wiku harus menaati Jati Sunda, berpegang teguh pada ajaran darma dan menjalankan ajaran sanghiyang siksa. Penyebutan Jati Sunda terdapat pula pada masyarakat Kanekes (Baduy) di Banten Selatan dengan sebutan Sunda Wiwitan, agama mereka sekarang, kata yang searti dengan Jati Sunda. pada prinsipnya, ajaran yang terkandung dalam agama itu adalah kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun ‘Yang Menghendaki’, atau Sanghiyang Karesa ‘Yang Mahakuasa’, atau Batara Tunggal ‘Yang Maha Esa’. Ia bersemayam di Buana nyungcung, lapisan dunia paling atas.
Sanghiyang Keresa dapat disamakan dengan Batara Seda Niskala yang disebutkan dalam naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian. Atau Sang Hiyang Pramana ‘Yang Mahakuasa’, dalam naskah Serat Catur Bumi (SCB): 68 a, dan Sang Hiyang Raga Dewata ‘Maha Pencipta’ dalam naskah Sang Hiyang Raga Dewata. Kelepasan adalah kebebasan maha sempurna.
Naskah SSK memberikan keterangan bagaimana sifat-sifat agama Buddha pada masa tersebut. Dikatakan bahwa Dasakreta adalah bayang-bayang dasasila yang merupakan hakikat Dasamarga yang bersumber pada dasaindriya. Keterangan itu menunjukan bahwa ajaran dasar Buddhisme telah di kembangkan dan di terapkan ke dalam kehidupan sehari-hari yang praktis. Kenegatifan ajaran Buddha di dalam dasasila (sepuluh larangan), di ubah menjadi kepositifan di dalam bentuk Dasmarga (sepuluh jalan), yang pelaksanaanya di gariskan pada Dasakreta (sepuluh tindakan). Keberhasilan dari pelaksanaan ajaran itu, bergantung pada orang yang menjalaninya. Oleh karena itu, Dasakreta harus dilandasi oleh pemahaman Dasaindriya (sepuluh drya) yang terdapat di dalam raga manusia. Bila hal itu di laksanakan sebagaimana mestinya, maka segera akan makmur, rakyat akan sejahtera, bumi akan subur, dan kehidupan dunia pun akan sentosa.
Uraian itu memperlihatkan bahwa sebenarnya naskah-naskah itu ditujukan untuk masyarakat luas yang beragama luas yang beragama Siwa dan Buddha. Pada masa sebelumnya sangat mungkin ajaran itu di uraikan secara lisan dari guru kepada murid-muridnya, kemudian pada akhir kerajaan Sunda, ketika agama Islam mulai terasa mengancam, muncul inisiatif untuk membukukan ajaran agama Hindu dan Buddha dalamsatu buku sehingga dapat di baca masyarakat luas. Dalam hal keagamaan, mungkin itulah benteng terakhir raja-raja Sunda mempertahankan kehidupan Buddhanya walaupun secara tersirat di ketahui bahwa sebenarnya naskah-naskah ini mengajarkan “kelepasan jiwa” sebagai hakikat tertinggi dari tujuan akhir manusia.
Pada masa itu menurut SKK: 18, terdapat para ahli dalam bidang keagamaan, misalnya pratanda ‘seorang ahli agama dan parigama’, brahmana ‘seorang ahli mantra’, janggan ‘seorang ahli dalam puja dan sanggar’, dan pandita ‘seorang ahli kitab’.
Sebelum Portugis menguasai Malaka, jalur perniagaan di Kepulauan Nusantara Senantiasa melewati Selat Malaka, baik yang bertujuan ke Cina maupun ke Maluku. Oleh karena itu, pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Pesisir Utara Kerajaan Sunda kurang berkembang meskipun tetap terlihat dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Seiring dengan penguasaan Malaka oleh Portugis, Selat Sunda memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Hal tersebut dimungkinkan karena para pedagang Muslim merasa enggan untuk berdagang melalui selat Malaka. Mereka lebih senang melalui Selat Sunda dengan menggunakan rute Aceh-Pantai Barat Sumatra, Selat Sunda Pesisir Utara Pulau Jawa, Nusa Tenggara-Maluku sebagai jalur perdagangan karena dinilai lebih aman.
Akibatnya pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di sepanjang Pesisr Utara Kerajaan Sunda semakin memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di kepulauan Nusantara.
Bagi Kerajan Sunda, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut memberikan keuntungan yang signifikan bagi perkembangan perekonomiannya. Sektor perdagangan semakin memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Sunda. Di pihak lain, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut melahirkan kekhawatiran yang semakin besar dikalangan pengusaha Sunda karena perkembangan tersebut didiringi pula dengan masuknya faktor yang bisa menghancurkan negara. Faktor tersebut adalah semakin banyaknya sodagar islam yang sehingga dipelabuhan-pelabuhan Kerajan Sunda. Penguasa sunda terasa khawatir dengan kenyataan tersebut karena dengan demikan afama Islam di Kerajan Sunda sudah cukup kuat seiring dengan tumbuhnya cirebon tersebut merupakan ancaman serius terhadap eksistensinya karena daerah ini telah mengembangkan kehidupan yang ber cocok Islam.
Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Sang Ratu Jayadewata (Raja Sunda) berusaha untuk membatasi pandangan muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaannya. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para perdagangan muslim. Namun demikian, upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan dengan upaya pembatasan yang dilakukan oleh Raja Sunda tersebut. Bahan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman Kerajaan Sunda sehingga kekhawatiran hancurnya negara semakin besar di kalangan penguasa Sunda.
Upaya lain yang dilakukan oleh kerajan Sunda dalam rangka membatasi pengaruh Islam di Negara adalah mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki ideologi sama dengan Kerajan Sunda. Mengetahui bahwa di Malaka telah berkuasa bangsa Protugis yang juga memusihi islam, Sang Ratu Jayadewata memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Protugis, kerajan dunda dapat mengimbangi kekuatan pasukan Kerajan Demak-Cirebon yang sedang berupaya menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Demikan juga dengan persahabatan ini, Pengaruh islam yang dibawa oleh para pedagang akan mampu dikontrol dengan ketat.
Untuk mewujudkan persahabatan tersebut, pada tahun 1512 Sang Ratu Jayadewata mengirim beberapa utusannya ke Malaka dibawah pimpinan Ratu Samiam (Sangiang). Mereka berusaha meyakinkan bangsa Protugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajan Sunda dengan Protugis. Ratu Sangiang memberikan informasi bahwa sejak protugis berkuasa di Malaka pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda berkembang dengan pesat sehingga cukup memegang peranan penting dalam jalur perdagangan di Nudantara. Oleh karena itu, Ratu Sanghiang memberikan penawaran kepada Protugis untuk melakukan perdagangan secara bebas dipelabuhan-pelabuhan milik Kerajan Sunda. Sebagai imbalnya Ratu Sangiang mengharapkan bantuan militer dari Protugis apabila kerajan Sunda diserang oleh Kerajan Demak-Cirebon.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No comments:
Post a Comment