Search This Blog

Saturday, 12 June 2021

Negara Kertagama Empu Prapanca

 

Pupuh 1

  1. Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
  2. Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
  3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
  4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
  5. Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.
Pupuh 2

  1. Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku Wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Budha. Tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budhaloka.
  2. Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung. Kembali girang bersembah bakti semenjak Baginda mendaki tahta. Bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.
Pupuh 3

  1. Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni. Setia mengikuti ajaran Budha, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Baginda raja ialah Sri Kertawardana raja. Keduanya teguh beriman Budha demi perdamaian praja.
  2. Ayahnya Sri Baginda raja bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan Negara. Mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.
Pupuh 4

  1. Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertahta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna. Adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari kembar.
  2. Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, masyhur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat masyuhrlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.
Pupuh 5

  1. Adinda Baginda raja di Wilwatikta. Puteri jelita, bersemayam di Lasem. Puteri jelita Daha, cantik ternama. Indudewi puteri Wijayarajasa.
  2. Dan lagi puteri bungsu Kertawardana. Bertahta di Pajang, cantik tak bertara. Puteri Sri Narapati Jiwana yang termasyhur. Terkenal sebagai adinda Sri Baginda.
Pupuh 6

  1. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya. Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
  2. Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira. Bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
  3. Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani. Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi. Raja Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardhana. Bagai titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
  4. Puteri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar. Para raja Pulau Jawa masing-masing mempunyai Negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama-sama menghamba Sri Nata.
Pupuh 7a

  1. Melambung kidung merdu pujian sang prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bagai matahari menghembus kabut, menghimpun Negara di dalam kuasa. Girang najma utama bagai bunga tunjung, musnah durjana kumuda. Dari semua desa di wilayah Negara pajak mengalir bagai air.
  2. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai Dewa Yama, menimbun harta bagai Waruna. Para telik menembus segala tempat laksana Hyang Bhatara Bayu. Menjaga pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti bulan.
  3. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para puteri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik. Paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan baginda.
  4. Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat cantik. Sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawardana memegang perdata seluruh Negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.
Pupuh 8

  1. Tersebut keajaiban kota: tembok bata merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban.
  2. Di sebelah utara, bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur, panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, disebelah pasar, rumah berjejal jauh memanjang sangat indah. Di selatan jalan perempatan, balai prajurit tempat pertemuan tiap caitra.
  3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah: bagian utara, paseban pujangga dan menteri. Bagian timur, paseban pendeta Siwa-Budha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa gerhana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
  4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil siwa. Di selatan, tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara, tempat Budha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkumpul.
  5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, di sela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat bercengkrama para perwira. Tepat ditengah-tengah halaman, bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
  6. Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Pupuh 9

  1. Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang. Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama Waisangka Kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jayagung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan, dan banyak lagi.
  2. Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak terbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua.
  3. Di bagian barat, beberapa balai memanjang sampai mercudesa. Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh, beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan, bertugas menghadap.
  4. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas, dengan beberapa bangsal yang indah. Di sebelah timur, menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan. Itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.
Pupuh 10

  1. Inilah pembesar yang sering menghadap dibalai Witana. Wreda menteri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring. Sang Panca Wilwatikta: mapatih, demung, kanaruhan, rangga, tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
  2. Semua patih, demung Negara bawahan dan pengalasan.  Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang, berkumpul di kepatihan seluruh Negara. Lima menteri utama, yang mengawal urusan Negara.
  3. Ksatria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap. Berdiri di bawah lindungan asoka di sisi Witana. Begitu juga dua dharmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Pupuh 11

  1. Itulah penghadap balai Witana, tempat tahta, yang berhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak jauh dari pintu pertama. Ke istana Selatan, tempat Singawardhana, permaisuri putra dan putrinya. Ke istana utara, tempat Kertawardana. Ketiganya bagai kahyangan.
  2. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kainya dari bata merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang, menarik perhatian. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lain-lainnya terpencar di halaman.
Pupuh 12

  1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Budha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
  2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
  3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda baginda di Wengker. Bhatara Narapati, termasyhur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
  4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana, serta bakti kepada Negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang cerdas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda Negara.
  5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Budha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan ksatria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
  6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa umpama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Pupuh 13

  1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
  2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama Negara-negara melayu yang telah tunduk. Negara-negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut
Pupuh 14

  1.  Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
  2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
  3. Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
  4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk
  5. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir, Galian, serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
Pupuh 15

  1. Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam dengan Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma, Rajapura, begitu juga Singanagari. Campa, Kamboja, dan Yawana ialah Negara sahabat.
  2. Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
  3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti
Pupuh 16

  1. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di Nusantara. Dilarang mengabaikan urusan Negara, mengejar untung. Seyogianya, jika mengemban perintah ke mana juga. Menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat
  2. Konon, kabarnya, para penderita penganut Sang Sugata. Dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata. Dilarang menginjak tanah sebelah barat Pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Budha.
  3. Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun, Bali boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan, menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh
  4. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim ke timur ke barat; dimana mereka sempat. Melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar
  5. Semua Negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa. Tapi, yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang telah masyhur lagi berjasa
Pupuh 17

  1. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah Nusantara. Di Sripalatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi masyhur
  2. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari Negara tetangga.
  3. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda. Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya
  4. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima
  5. Atau pergilah beliau bersembah bakti kehadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jinur, mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu, dan Lingga hingga Desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
  6. Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276), ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279), ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman.
  7. Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281), di Badrapada bulan tambah Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju Kota Lumajang naik kereta diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
  8. Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
  9. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdampingan, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun, belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah, dan menggubah karya kakawin; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
  10. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala di dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkala memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
  11. Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya, sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap di tangan lain, rindu termenung-menunggu
Pupuh 18

  1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impitan. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
  2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain lambangnya. Rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda.
  3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas mengkilat.
Pupuh 19

  1. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir lemak – lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
  2. Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.
Pupuh 20

  1. Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
  2. Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa kasogatan yang ber-akuwu Sejak dahulu, delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.
Pupuh 21

  1. Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
  2. Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.
Pupuh 22

  1. Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
  2. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama.
  3. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.
  4. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.
  5.  Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.
Pupuh 23

  1. Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
  2. Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.
Pupuh 24

  1. Terlalu lancer lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa.
  2. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintasi Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Pupuh 25

  1. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para menteri dan abdi. Beramai-ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep. Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata.
  2. Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji siwa dan Panji budha, faham hukum dan putus sastra.

Pupuh 26

  1. Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain. Girang rakyat girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.
Pupuh 27

  1. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda mendekati permaisuri seperti dewa dewi. Para puteri laksana apsari  turun dari kahyangan. Hilangnya keganjlan berganti pandang penuh heran cengang.
  2. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh 28

  1. Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul.
  2. Persembahan bulu bekti bertumpah limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang.
  3. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Baginda keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta, membuat gembira rakyat.
Pupuh 29

  1. Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertajaya. Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
  2. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
  3. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Pupuh 30

  1. Tersebutlah perjalanan Sri Narapati kea rah barat. Segera sampai Keta dan tinggal disana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain hingga puas.
  2. Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa-Budha. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.
Pupuh 31

  1. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar.
  2. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama upacara penyekaran itu.
  3. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak.
  4. Setelah selesai kegiatan upacaranya, Baginda raja menikmati segala yang disukai. Mengunjungi desa-desa yang berdekatan serta membagikan sedekah. Entah berapa malam Baginda di sama merasa aman sentosa dan amat senang. Dengan permaisuri yang jelita, seorang wanita yang cekatan bersifat keibuan.
  5. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
  6. Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Pupuh 32

  1. Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah candi Budha beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para menteri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang.
  2. Berangkat dari situ Sri Baginda menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu.
  3. Sang pujangga Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
  4. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cita. Di atas atap terpahat ucapan sloka yang disertai nama. Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
  5. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkupi selokan. Andung, karawita, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah, menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
  6. Tiada sampailah kata merah keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua-muda, nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
Pupuh 33

  1. Habis berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapaan. Baginda membalas harta, membuat mereka gembira.
  2. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerama ke taman penuh dengan kesukaan. Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang.
  3. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja puteri sengaja merenung. Batinnya: dewa asmara turun untuk datang menggoda.
Pupuh 34

  1. Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam roga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
  2. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah ditepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju Desa Gading.
  3. Para menteri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Budha. Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Baginda dengan emas dan kain.
  4. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Pupuh 35

  1. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya, kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang. Ke Kedung Peluk dan Ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Baginda menuju Kota Singasari bermalam dib alai kota.
  2. Prapanca tinggal disebelah barat Pasuruan ingin terus melancong. Menuju Indarbaru yang letaknya di daerah Desa Hujung. Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
  3. Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitu pula dengan Markaman, lading balunghura, sawah hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di Putusingin, ia menyingkir ke Indarbaru.
  4. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama. Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Baginda mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pupuh 36

  1. Pada Subakala, Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada makam Bhatara bersama segala pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera, disambut sorak sorai dari penonton.
  2. Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Budha dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa lahab Baginda bersantap sampai puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.
Pupuh 37

  1. Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara. Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar di dalam, terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
  2. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru, dengan arca Bhatara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putera disembah bagai Dewa Bhatara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
  3. Sebelah selatan candi makam ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sangar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
  4. Disebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpancar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Diluar gapura pabaktan luhur, tapi longsor tanahnya. Halaman luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
  5. Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
  6. Sedih mata memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau masyhur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagat. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan Bhatara.
  7. Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung ke Candi Kidal. Sesudah menyembah Bhatara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menyembah arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Pupuh 38

  1. Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru-biruan, ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
  2. Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi. Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
  3. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Budha, sarjana pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi.
  4. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan masyhur. Meskipun sempurna dalam karya, jauh dari tingkah takabur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsyafannya.
  5. Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai, orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”
  6. Maksud kedatanganya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan. Masih selalu dihadap. Ceritakanlah mulai dengan Bhatara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putera Girinata.
Pupuh 39

  1. Paduka empuku menjawab: “Rakawi Maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup”
  2. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh. Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur.
  3. Semoga rakawi bersifat pengampun. Diantara kata terselip salah. Harap percaya kepada orangtua. Kurang atau lebih janganlah dicela.
Pupuh 40

  1. Pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan (1104) ada raja perwira yuda. Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
  2. Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
  3. Tahun Saka Lautan Dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri. Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
  4. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Janggala Kediri dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
  5. Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka Muka Lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha.
Pupuh 41

  1. Bhatara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.
  2. Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.
  3. Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176) Bhatara Wisnu menobatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia.
  4. Raja Kertanegara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari.
  5. Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Budha. Sementara itu Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper  diarcakan bagai Siwa Mahadewa.
  6. Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.
Pupuh 42

  1. Tahun Saka janma suny surya (1202) Baginda raja memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit surya (1206) mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Baginda sebagai seorang tawanan.
  2. Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa.
  3. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.
Pupuh 43

  1. Menurut kabaran sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun saka lembu gunung indu tiga (1379) beliau pulang ke Budhaloka. Sepeninggalnya datang zaman kali, dunia murka, timbul huru-hara. Hanya Bhatara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagat.
  2. Itulah sebabnya baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang pancasila, laku utama, upacara suci gelaran Jina beliau yang sangat masyhur ialah Sri Jnyanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama.
  3. Berlomba-lomba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati. Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
  4. Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama adil, teguh dan Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung.
  5. Tahun saka laut janma bangsawan yama (1214) Baginda pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama, beliau diberi gelaran: Yang mulia bersemayam di alam Siwa-Budha. Di makam beliau bertegak arca Siwa-Budha terlampau indah permai.
  6. Di sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan Negara. Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Pupuh 44

  1. Tatkala Sri Baginda Kertanagara pulang ke Budhabuana, merata takut, duka, huru hara, laksana zaman kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
  2. Tahun saka laut manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya. Atas perintah Siwaputera Jayasaba berganti jadi raja. Tahun saka delapan satu satu (1180) Sastrajaya raja Kediri. Tahun tiga Sembilan siwa raja (1193) Jayakatwang raja terakhir.
  3. Semua raja berbakti kepada cucu Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanagara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata dunia tak baka akibat bahaya anak piara Kali.
  4. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar saja. Lalu ditundukan putera Baginda; ketentraman kembali. Sang menantu Dyah Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia. Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebut Jayakatwang.
Pupuh 45

  1. Sepeninggal Jayakatwang jagat gilang cemerlang kembali. Tahun saka masa rupa surya (1216) beliau menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh bergelar Sri Narapati Kretarajasa Jayawardana.
  2. Selama Kretarajasa Jayawardana duduk di tahta, seluruh Jawa bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Baginda empat jumlahnya. Puteri Kertanegara cantik-cantik bagai bidadari.
Pupuh 46

  1. Sang Prameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela. Lalu Prameswari Mahadewi, rupawan tak bertara. Prajnyaparamita Jayendra dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
  2. Perkawinan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Bhatara Wisnu dengan Bhatara Narasingamurti. Akrab tingkat pertama; Narasingamurti menurunkan Dyah Lembu Tal. Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha.
Pupuh 47

  1. Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan.
  2. Tersebut tahun saka tujuh orang dan surya (1217) Baginda menobatkan puteranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putera Indreswari. Bergelar Sang Raja Putera Jayanagara.
  3. Tahun saka surya mengitari tiga bulan (1231) Sang orabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau. Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.
Pupuh 48

  1. Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang puteri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai Dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani di Daha.
  2. Tersebut pada tahun saka mukti guna memaksa rupa (1238) bulan madu baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagat melihat keperwiraan Sri Baginda.
  3. Tahun saka bulatan memanah surya (1250) beliau berpulang. Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di sila petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di sukalila terpahat arca Budha sebagai jelmaan Amogasidi.
Pupuh 49

  1. Tahun saka uma memanah dwi rupa (1256) Rani Jiwana Wijayatunggadewi bergilir mendaki tahta Wilwatikta didampingi raja putera Singasari.
  2. Atas perintah ibunda Rajapatni sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Baginda Wilwatikta.
  3. Tahun Saka Api memanah ari (1253) Sirna musuh di sadeng, Keta diserang. Selama bertahta, semua terserah kepada menteri bijak, Mada namanya.
  4. Tahun saka panah musim mata pusat (1265) Raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya menjauh segala yang jahat, tenteram.
  5. Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Baginda di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata.
  6. Barangsiapa mendengar kisah raja, tak puas hatinya. Pasti takut melakukan tindak jahat, menjauhkan diri dari tindak durhaka.
  7. Paduka empu minta maaf berkata: “Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu, Bagai buahnya gubahlah pujasastra”
  8. Habis jamuan rakawi dengan sopan minta diri kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Baginda.
Pupuh 50

  1. Tersebut Baginda Raja berangkat berburu. Berlengkap dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Nandawa, rimba belantara. Rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak.
  2. Bala bulat beredar membentuk lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit. Burung ribut beterbangan berebut dulu.
  3. Bergabung sorak orang berseru dan membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan Kandawa terbakar.
  4. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari malah menengah berkumpul tumpuk timbun.
  5. Banyaknya bagai benteng di dalam Gobajra. Penuh sesak bagai lembu di Wresabapura. Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci, biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.
  6. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
Pupuh 51

  1. Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
  2. Seolah-olah demikian kata serigala dalam rapat. Kijang, kasuari, rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik, tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin.”
  3. Banteng, kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi! Celaka bang kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari atau menanti mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
  4. Jawab singa: “Usulmu berdua memang pantas diturut. Tapi harap dibedakan yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka jika mati terbunuh olehnya.
  5. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Budha seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja terburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
  6. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Bhatara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun ke dalam telaga.
  7. Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa aku takut, lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lagi bagai binatang.”
Pupuh 52

  1. Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya tertahan tanduk satwa, lari kembali.
  2. Tersebut adalah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh dengan anaknya dirayah tak berdaya.
  3. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah, buas membekos-bekos, matanya merah liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh 53

  1. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru. Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
  2. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
  3. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanilah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah! Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
  4. Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
  5. Ada pendeta Siwa-Budha yang turut menombak, mengejar disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila, turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh 54

  1. Tersebutlah baginda telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya. Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai.
  2. Celeng, kaswari, rusa, dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Menteri, tanda, dan pujangga di punggung kuda turut memburu. Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk, tertikam.
  3. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati baginda, sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh 55

  1. Terlangkahi betapa narpati  sambil berburu menyerap sari keindahan. Gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan. Membawa wanita seperti cengkerama; di hutan bagai menggempur Negara. Tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
  2. Tersebutlah beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar. Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai disitu perjalanan beliau.
  3. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Belanak. Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam. Kembali ke Selatan, ke Barat menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penonton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam.
Pupuh 56

  1. Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanegara, moyang baginda raja. Di situ hanya jenazah beliau saja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Budha.
  2. Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi. Didalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobhya bermahkota tinggi tak bertara. Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya di nirwana.
Pupuh 57

  1. Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang. Ada pada Baginda guru besar, masyhur, pada Paduka. Putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni. Telah terbukti bagai mahapendeta, terpundi sasantri.
  2. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam di candi. Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya, mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
  3. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci. Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti, kecewa! Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
  4. Tahun Saka Api Memanah Halilintar (1253) itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam. Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?
  5. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun. Gapura luar, mekala serta bangunanya serba permai. Hiasang di dalamnya nagapuspa yang sedang berbunga. Disisinya lukisan puteri istana berseri-seri.
  6. Sementara Baginda girang cengkrama menyerap pemandangan. Pakis berserak di tengah tebar bagai bulu dada. Ketimur arahnya dibawah terik matahari, Baginda meninggalkan candi, pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh 58

  1. Tersebut dari Jajawa Baginda berangkat ke Desa Padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencari pemandangan, masuk hutan rindang. Kea rah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
  2. Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke Barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput. Yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
  3. Pukul tiga itulah waktu baginda bersantap bersama-sama. Paling muka duduk baginda, lalu dua paman berturut tingkat. Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan di sisi Sri Baginda; terlangkahi betapa lamanya bersantap.
Pupuh 59

  1. Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak.
  2. Banasara dan Sangkan Adoh telah dilalui. Pukul dua Baginda telah sampai di perbatasan kota. Sepanjang jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati, kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan.
  3. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya, tidak jauh , berikut narapati Lasem. Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang.
  4. Rani Daha, Rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Baginda serombongan besar. Diiringi beberapa ribu oerwira dan para menteri.
  5. Tersebutlah orang yang rapat tampak menambak tepi jalan. Berjejal ribut menanti kereta Baginda berlintas. Tergopoh-gopoh perempuan ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk lainnya.
  6. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desakan di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena terpekur memandang.
  7. Gemuruh dengung gong menampuk Sri Baginda raja datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu, berarak pengiring di belakang. Gajah, kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Pupuh 60

  1. Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan berjalan belakang. Lada, kesumbu, kapas, buah kelapa, buah pinang, asam dan wijen terpikul.
  2. Di belakangnya oemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di keranjang merunduk.
  3. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung, slundang, cempaluk, nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk gelaknya seperti hujan panah jatuh.
  4. Tersebut Baginda telah masuk pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu. Membuat girang semua sanak kadang.
Pupuh 61

  1. Waktu lalu; Baginda tak lama di istana. Tahun saka dua gajah bulan (1282) Badrapada, beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan.
  2. Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jumble untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menentramkan cita.
  3. Dari Blitar ke selaan jalannya mendaki. Puhonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
  4. Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi makam leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.

Pupuh 62

  1. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti, yang dibaca lagi. Diukur panjang lebarnya; disebelah timur sudah ada tugu asrama gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
  2. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Jnyanabadra terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat lagi, berhenti di Bekel, sore sampai pura. Semua pengiring bersowang sowing pulang ke rumah masing-masing.
Pupuh 63

  1. Tersebut paginya Sri Naranata dihadapan para menteri semua. Dimuka para Arya, lalu Pepatih, duduk teratur di Manguntur. Patih Amangkubumi Gadjah Mada tampil ke muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan”.
  2. Atas perintah Sang Rani Sri Tribuwana Wijayatunggadewi, supaya pesta Serada Sri Rajapatni dilangsungkan Sri Baginda. Di istana pada tahun saka bersirah empat (1284) bulan Badrapada. Semua pembesar dan wredda menteri diharap memberi sumbangan.”
  3. Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira Baginda. Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan menteri yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala. Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Baginda.
  4. Tersebutlah sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil. Ada yang mengetam baik makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan.
Pupuh 64

  1. Ketika saatnya tiba, tempat telah teratur sangat rapi. Balai Witana terhias indah, dihadapan rumah-rumahan. Satu diantaranya berkaki batu karang, bertiang merah. Indah dipandang, semua menghadap kea rah tahta Baginda.
  2. Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, menteri dan pujangga, serta pendeta. Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
  3. Demikian persiapan Sri Baginda memuja Budha Sakti. Semua pendeta Budha berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan, budiman faham tentang sastra tiga tantra.
  4. Umumnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, tantra, dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
  5. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surge dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.
Pupuh 65

  1. Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara/ Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan diatas singgasana, besarnya setinggi orang berdiri. Berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja.
  2. Berikut para raja, parameswari dan putera mendekati arca. Lalu patih dipimpin Gadjah Mada maju ke muka berdatangan sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur.
  3. Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap. Bersusun timbun seperti pohon dan sirih bertutup kain sutera. Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari mulutnya.
  4. Raja wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat. Disertai penyebaran harta di lantai balai besar berhambur-hamburan. Elok persembahan raja Tumapel berupa perempuan cantik manis dipertunjukkan selama upacara untuk menharu-rindukan hati.
  5. Paling hebat persembahan Sri Baginda berupa gunung besar Mandara. Digerakkan oleh sejumlah dewa dana danawa dhsyat menggusarkan pandang. Ikan lembora besar berlembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar. Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang ditengah-tengah lautan besar.
  6. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, menteri, pendeta dapat makanan sekenyangnya. Tidak terlangkahi para ksatria, arya dan abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara.
Pupuh 66

  1. Pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan persajian. Pun para ksatria  dan pembesar mempersembahkan rumah-rumahan yang terpikul. Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan.
  2. Esoknya Patih Mangkubumi Gadjah Mada sore-sore menghadap sambil menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun, ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan…
  3. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Baginda raja pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar abdi dan niata mengalir bagai air.
  4. Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta pura leluhur. Sri Nata menari di balai Witana khusus untuk para puteri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit, ada yang ngelamun karena tercengang memamndang.
  5. Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit, yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat.
Pupuh 67

  1. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Rajapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda raja. Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.
  2. Paginya pendeta Budha datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budhaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi.
  3. Lodang lega rasa Baginda melihat perayaan langsung lancar. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun dahana tujuh surya (1274) dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
Pupuh 68

  1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah karena cinta raja Erlangga kepada kedua puteranya.
  2. Ada pendeta Budhamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan Lemah Cittra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Mpu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman.
  3. Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah Negara. Tapal batas Negara ditandai air kendi, mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
  4. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah. Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
  5. Itulah tugu batas gaib yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga baginda serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin Negara, yang sudah bersatu padu.
Pupuh 69

  1. Prajnaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun. Arca Sri Rajapatni diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu Negara. Laksana titisan Empu Bharada, menggembirakan hati Baginda.
  2. Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja. Wisesapura namanya, jika candi sudah berdiri sempurna dibangun.
  3. Candi makam Sri Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para menteri dan pendeta. Di tiap daerah, rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah surganya, berkat berputera, bercucu narendra utama.
Pupuh 70

  1. Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285) baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara.
  2. Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kertarajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya.
  3. Sekembalinya dari Simping, segera masuk pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gadjah Mada sakit. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.
Pupuh 71

  1. Tahun saka tiga angin utama (1253) beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun rasa (1286) beliau mangkat; Baginda gundah, terharu bahkan putus asa. Sang Dibyacita Gadjah Mada cinta kepada sesame tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup tidak baka, karenanya beramal tiap hari.
  2. Baginda segera bermusyawarah dengan kedua rama serta ibunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan.
  3. Baginda berpegang teguh. Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul keberatan, beliau sendiri bertanggung jawab. Memilih enam menteri yang menyampaikan urusan Negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan Baginda.
Pupuh 72

  1. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredda menteri karib Baginda bernama Mpu Tadi.
  2. Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama Mpu Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat. Mancanegara bergelar tumenggung.
  3. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan Negara  Dompo, Serba ulet menanggulangi musuh.
  4. Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai pembantu utma Baginda. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para upapati.
  5. Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu ditaati di istana. Mpu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Baginda.
  6. Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari setia baktinya. Karena Baginda yang memerintah.
Pupuh 73

  1. Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikuti undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Masyhur nama beliau, mampu menembus zaman, sungguhlah titisan Bhatara.
  2. Candi makam serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala yang belum siap diselesaikan, dijaka dan dibina dengan seksama. Yang belum punya prasasti disuruh buatkan piagam oleh ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun.
  3. Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan Kalang, Brat dan Jago. Lalu Blitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.


Pupuh 74

  1. Makam rani: Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri di Bayalangu yang baru saja dibangun.
  2. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra, dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra.
Pupuh 75

  1. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara orang utama, yang seksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada baginda, hanya memikirkan kepentingan bersama. Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam.
  2. Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Baginda Darmadyaksa Kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa Kasogatan disuruh menjaga biara kebudhaan. Menteri ber-haji bertugas memelihara semua pertapaan.
Pupuh 76

  1. Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: Biara Relung Kunci, Kapulungan, Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna. Parahyangan, Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Harimananda, Uttamasuka, Prasada-haji, Sadeng, Panggumpulan, Katisanggraha. Begitu pula Jayasuka.
  2. Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigir, Nyudonto, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara, Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling ditambah sebutan lagi Batu Putih.
  3. Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara, Kutahaji, Jantraya, Rajadanya, Kuswanata, Surayasa, Jarak, Lagundi, serta Wadari. Wewe Pacekan, Pasuruan, Lemah Surat, Sangan serta Pangiketan. Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela, dan Pamulang.
  4. Baryang Amretawardani, Wetlwetihn, Kawinayan Patemon serta Kanuruhan. Engtal, Wengker, Banyu Jiken, Batabata, Pagagan, Sibok dan Engtal Wetan. Pindatuha, telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah suka Sukalila. Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara, Kulur, Tangkil, dan sebagainya.
Pupuh 77

  1. Selanjutnya, disebut berturut desa kebudhaan Bjradara: Isanabajra, Naditara, Mukuh, Sambang, Tanjung, Amretasaba, Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadata.Tidak juga terlangkahi Kumuda, Ratna serta Nadinagara.
  2. Wungajaya, Palandi, Tangkil, Asahing, Samici, serta Acitahen. Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng, Pojahan, dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan serta Kahuripan. Keraki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala.
  3. Badur, Wirun, WUngkilur, Mananggung, Watukura serta Bajrasana. Pajambayan, Salaten, Simapura, Tambvak Laleyan, Pilangu, Pohaji, Wangkali, Biru, Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudhaan Bajradara yang sudah berprasasti.
Pupuh 78

  1. Desa Keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan. Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia Mahaguru – demikian sebutan beliau.
  2. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut piagam. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, diantaranya yang penting: Bangawan Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasita, Palah, Padar, Siringan. Itulah desa perdikan Siwa.
  3. Wangjang Bajrapura, Wanara, Makiduk, Hansen, Guha dan Jiwa. Jumpud, Soba, Pamuntaran dan Baru, perdikan Budha utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagri, Centing, Wekas. Wandira, Wandayan, Gatawang, Kulapayan dan Talu pertapaan resi.
  4. Desa perdikan Wisnu berserak di Barwan serta Kamangsian, Batu, Tanggulian, Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting. Sedang, Medang, Hulun Hyan, Parung Langge, Pasajan, Kelut, Andelmat, Pradah, Geneng, Panggawan, sduah sejak lama bebas pajak.
  5. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Baginda raja. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Pupuh 79

  1. Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan, candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berpiagam dipertahankan, yang tidak segera diperintahkan pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
  2. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker. Raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan. Segenap penduduk jawa patuh mengindahkan perintah baginda raja.
  3. Semua tata aturan patuh diturut oleh Pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya. Pembesar kebudhaan Baduhulu, Badaha Lo Gajah ditugaskan membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya.
Pupuh 80

  1. Perdikan kebudhaan Bali seperti berikut: Biara Baharu (Hanyar), Kadikaranan, Purwanagara, Wirabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudhaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan Negara seperti Arya-dadi.
  2. Berikut candi makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung dan Anyawasuda, Tatagatapura, Grehastadata, sangat masyhur, dibangun atas piagam pada tahun saka Angkasa Rasa Surya (1260) oleh Sri Baginda Jiwana. Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya: upasaka wredda menteri.
  3. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Begitulah tabiat raja utama, Berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci.
  4. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut. Menentramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan Negara.
Pupuh 81

  1. Besarlah minat Baginda untuk tegaknya tripaksa. Tentang piagam beliau bersikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata sila dan adat-tutur diperhatikan.
  2. Itulah sebabnya sang caturdwija  mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Budha teguh mengindahkan tutur. Catur Asrama  terutama catur basma tunduk rungkup tekun. Melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
  3. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para menteri dan arya pandai membina urusan Negara. Para puteri dan ksatria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan Sudra dengan gembira menepati tugas darmanya.
  4. Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan Hyang Mahatinggi. Konon, tunduk rungkup kepada kuasa dan perintah baginda. Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah, Candala, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacat-cacatnya. Begitulah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata.
Pupuh 82

  1. Penegakan bangunan – bangunan suci membuat gembira rakyat. Baginda menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku sang prabu.
  2. Sri Nata Singasari membuka lading luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang. Mendirikan perdikan Budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Baginda sendiri membuka lading Watsari di Tigawangi.
  3. Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas. Candi, Biara dan Lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Pupuh 83

  1. Begitulah keluhuran Sri Baginda ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang. Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.
  2. Bertambah masyhur keluhuran Pulau Jawa di seluruh jagat raya. Hanya Jambudwipa dan Pulau Jawa yang disebut Negara utama. Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya. Panji Jiwalekan dan Tenggara yang menonjol bijak di dalam kerja.
  3. Masyhurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur. Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya. Hyang Brahma, sopan, suci, ahli weda, menjalankan nam laku utama. Bhatara Wisnu dengan cipta dan mantera membuat sejahtera Negara.
  4. Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Kamataka. Goda serta Saim mengarungi lautan bersama para pedagang. Resi dan pendeta, semua merasa puas menetap dengan senang.
  5. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati di seluruh Negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di dasaran.
  6. Berputar keliling gamelan dalam tanduan di arak rakyat ramai. Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura. Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Budha. Mulai tanggal delapan petang demi keselamatan Baginda.
Pupuh 84

  1. Tersebut pada tanggal empat belas bulan petang, Baginda berkirap. Selama kirap keliling kota busana Baginda serba kencana. Ditatang jempana kencana, panjang berarak beranur runtun. Menteri, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam.
  2. Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut menyahut. Bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh jawa.Tanda bakti Baginda perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna.
  3. Telah naik Baginda di tahta mutu-manikam, bergebar pencar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang Nampak, semua serba mulia, sebab Baginda memang raja agung. Serupa jelmaan Sang Sudodana putera dan Jina bawana.
  4. Sri Nata Pajang dengan Sang Permaisuri berjalan paling muka. Lepas dari Singgasana yang diarak pengiring terlalu banyak. Menteri Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul.
  5. Raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu Raja Kediri dengan permaisuri serta menteri dan tentara. Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Baginda dan para pembesar seluruh Jawa.
  6. Penuh berdesak-desak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak perempuan tua muda, berjejal berimpit –impitan.
  7. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci didulang berukir. Menteri serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama.
Pupuh 85

  1. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka. Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir. Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para ksatria, pendeta, dan Brahmana utama.
  2. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran Rajakapakapa, dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.
Pupuh 86

  1. Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utra kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga. Diarak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang.
  2. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan menteri di dalam kelompok.
  3. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongeng parwa. Dekat disebelah baratnya bangunan serupa istana. Tempat menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
Pupuh 87

  1. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk para raja dan arya. Para menteri dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya.
  2. Disitulah Baginda member rakyat santapan mata: pertunjukan perang tanding, perang pukul, desuk mendesuk, perang keris, adu tinju, tarik tambang, menggembirakan sampai tiga empat hari lamanya baru selesai.
  3. Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar; rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.
Pupuh 88

  1. Segenap ketua desa dan wedana tetap tinggal, paginya mereka dipimpin Arya Ranadikara menghadap baginda minta diri di pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para abdi dan pembesar.
  2. Berkatalah Sri Nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana: “Wahai, tunjukkan cinta serta setai baktimu kepada Baginda raja. Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu. Jembatan, Jalan Raya, Beringin, Bangunan dan Candi supaya dibina.
  3. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah. Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh ketangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar.
  4. Sri Nata Kartawardhana setuju dengan anjuran pembesar desa. “Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama pelanggar susila. Agar bertambah kekayaan baginda demi kesejahteraan Negara.
  5. Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi anjuran: “Para Budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya, terutama beacukai, pelawang, supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas.
Pupuh 89

  1. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan, biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
  2. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, Negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, Negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”.
  3. Begitulah perintah Baginda kepada wedana, yang tunduk mengangguk. Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Menteri, upapati, serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama.
  4. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga sudut ruang para wedana  duduk teratur menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas. Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Baginda.
  5. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda.
Pupuh 90

  1. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut acara.
  2. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari berbagai desa mereka diberi kegemaran, biar puas.
  3. Mengalir berbagai minuman keras segar: Tuak nyiur, Tal, Arak kilang, tuak rumbya. Itulah hidangan minuman utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam.
  4. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
  5. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pupuh 91

  1. Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Solah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
  2. Disuruh menghadap baginda, diajak minum bersama. Menteri upapati berurut minum bergilir menyanyi. Nyanyian Manghuri Kandamuhi dapat sorak pujian. Baginda berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu.
  3. Tercengang dan terharu hadirin mendengar suara merdu. Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap membaru kalbu bagai desiran buluh perindu.
  4. Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlaku bersama Arya Mahadikara, mendadak berteriak bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng. “Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk persiapan.
  5. Sri Kertawardana tampil ke depan menari panjak. Bergegas lekas panggung disiapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya memikat hati.
  6. Bubar mereka itu ketika Sri Baginda keluar. Lagu rayuan Baginda bergetar menghanyutkan rasa, Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa merasuk tulang sumsum pendengar.
  7. Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengiringnya dibelakang, bagus, bergas pantas keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya. Inilah sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
  8. Tari Sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran menghanyutkan hati penonton.
  9. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar minta diri mencium duli paduka. Katanya: “Lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Baginda waktu masuk istana.
Pupuh 92

  1. Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita. Terang baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan Negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Budha. Dengan laku utama beliau memadamkan api kejahatan durjana.
  2. Terus membumbung ke angkasa kemasyhuran dan keperwiraan Sri Baginda. Sungguh beliau titisan Bhatara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang dan musnah letanya abdi yang disapa.
  3. Inilah sebabnya keluhuran beliau masyhur terpuji di tiga jagat. Semua orang tinggi, sedang dan rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
Pupuh 93

  1. Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Baginda. Sang pendeta Budhaditya menggubah rangkaian sloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa.Brahma Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian sloka indah.
  2. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka sloka pujasastra untuk nyanyian. Yang terpenting pujasastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana.
Pupuh 94

  1. Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara, Prapanca bangkit turut memuji Baginda, meski tak akan sampai pura. Maksud pujiannya agar Baginda gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan Negara, terutama Baginda dan rakyat.
  2. Tahun saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan keliling Negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desawarnana. Dengan maksud, agar Baginda ingat jika membaca hikmat kalimat.
  3. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar. Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.
  4. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin, terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat pujasastra berupa karya kakawiin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Pupuh 95

  1. Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenai ajaran kasih, jika tidak diamalkan?
  2. Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak Nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Mahamuni diresapi bagai pegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda.
  3. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan tempat persajian ditempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tingg-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah lama dikenal.
Pupuh 96

  1. Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu, pipinya sembab, matanya ngeliyap, gelaknya terbahak-bahak.
  2. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh tidak menuruti ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali.
Pupuh 97

  1. Ingin menyamai Mpu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang.
  2. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu uang dibagi. Terus bertapa brata. Mendapat pimpinan hidup.
  3. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai ingin mencapai nirwana, jadi pahlawan pertapa.
Pupuh 98


  1. Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacat dan dicela di dalam pura
1     2     3     4     5     6     7     8     9     10.....

Serat Pararaton tentang Ken Arok

 

Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu," 
Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan.." 
Kata kepala Lingkungan: "Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang". 
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk.
Kata kepala lingkungan kepada isterinya: "Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia"
diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet.
Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya,
sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. 
Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. 
Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini,"
Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok". 
Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir." 
Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa. 
Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. 
Ken Angrok lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini," 
Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. 
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. 
Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. 
Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas".
Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. 
Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. 
Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. 
Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. 
Kata ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha, 
Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka. 
Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. 
Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; 
Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. 
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. 
Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. 
Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya." 
Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian pertanyaan para dewa semua. 
Menjawablah dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa." 
Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi. 
Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. 
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: "Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian."
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. 
Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja". 
Menjawablah Ken Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok." 
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi."
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. 
Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan." 
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu".
Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini". Demikianlah kata Tunggul Ametung.
Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu,
Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. 
Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. 
Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. 
Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu. 
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. 
Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan. 
Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar." 
Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. 
Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji; 
Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. 
Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu".
Dang Hyang menjawab: " Siapa itu, buyung".
Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba".
Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja."
Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan."
Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri." 
Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan."
Sang Brahmana menjawab: "Akan kemana kamu buyung?"
Ken Angrok menjawab: " Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung."
Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana."
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."
Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba.
Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: "Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu."
Kata Sang Brahmana: "Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja."
Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang,
Kata Dang Hyang: "Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri."
Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah.
Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia."
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok.
kata Ken Angrok: "Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang."
Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Monday, 7 June 2021

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

 
Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki fondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut fondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar
 
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran fondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Fondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai , Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian fondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar trisula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata. 
Candi Palangka Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai . Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 
Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara. Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.

Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.

Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain:
 
Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.

Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.

Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat di mana akan didirikan bangunan tersebut. 

Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin di mana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.

Sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatra pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.

Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.

Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:

Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain di mana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahu.

Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang banyak. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya. Terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.

Daftar Pustaka
(Indonesia) Balai Arkeologi Medan. 1998. Berkala Arkeologi SANGKHAKALA.
(Indonesia) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PSP I. Proyek pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat. Jakarta
(Indonesia) Haryono, Timbul. 1986. Relief dan Patung Singa Pada Candi-Candi Periode Jawa Tengah: Penelitian Atas Fungsi dan Pengertiannya. Laporan Penelitian. Yogyakarta
(Inggris) Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
(Indonesia) Siagian, Renville. 2002. CANDI sebagai warisan seni dan budaya Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana
(Indonesia) Soekmono, R. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta
(Indonesia) Suaka PSP Prov. Sumbar dan Riau. 1995. Buletin Arkeologi AMOGHAPASA. Batusangkar

Tuesday, 1 June 2021

Kerajaan Kutai

Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4 atau lebih tepatnya tahun 400 hingga 1635. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini
Raja-raja Kutai Martapura
Ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik / Tutur cerita Rakyat .
Maharaja Kundungga
Kundungga merupakan raja awal pendiri Kerajaan Kutai Martapura dengan gelar Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman, yang memerintah sekitar tahun 400 Masehi atau abad ke-4 Masehi. Pada awalnya Kutai Martapura yang dipimpin oleh Kundungga belum berkedudukan sebagai raja, melainkan sebagai pemimpin kepala suku. Kutai Martapura pada masa Kundungga belum mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis
Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India. Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun. Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.
Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
Nama Maharaja Aswawarman diyakini telah terpengaruh oleh budaya Hindu, berdasarkan fakta kata "Warman" berasal dari bahasa Sanskerta, yang biasanya digunakan untuk menyebut nama orang atau penduduk India Selatan.
Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman) adalah Mulawarman Nala Dewa. 
Mulawarman adalah raja Kutai Martapura yang memerintah pada abad ke-4 Masehi. Dalam prasasti Yupa disebutkan bahwa Mulawarman pernah menyumbangkan 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.
Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martapura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu ibu kota di Kutai Lama.
Kutai Kertanegara ,pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kertanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kertanegara. 
 
Kontroversi
Pada awal tahun 2020 beredar kabar adanya perkumpulan yang menamakan dirinya “Maharaja Kutai Mulawarman”. Perkumpulan ini mengaku sebagai penerus tahta raja Mulawarman. Namun, pernyataan ini tidak berlandaskan Penemuan sejarah. Kerajaan Kutai Martapura yang dulu berpusat di Muara Kaman tidak dihidupkan kembali. Alasannya, eksistensi kerajaan ini sudah Masuk ke dalam Kerajaan Kutai Kertanegara. Alasan lainnya adalah tidak ada sumber sejarah yang valid mengenai silsilah dari keturunan Raja Dermasatia sebagai raja terakhir Kerajaan Kutai Martapur
a

https://id.wikipedia.org

Monday, 24 May 2021

Mataram Kuno

Mataram pasti tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ini adalah nama kerajaan yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Peninggalannya pun sangat terkenal, salah satunya adalah candi Borobudur. 
Di mana kerajaan tersebut adalah Mataram Kuno. Lokasinya ada di bagian tengah Pulau Jawa (Jawa Tengah saat ini). Pusat dari kerajaan Mataram Kuno disebut dengan nama Bhumi Mataram. Wilayah kerajaan Mataram Kuno dikelilingi oleh banyak gunung-gunung dan pegunungan, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. 
Selain itu, ada banyak sungai yang mengalir di wilayah kerajaan Mataram Kuno, seperti Sungai Progo, Sungai Elo, Sungai Bogowonto, dan Sungai Bengawan Solo. Perpaduan geografis ini membuat wilayah Mataram Kuno menjadi sangat subur. Berikut penjelasan lebih dalam mengenai salah satu kerajaan yang menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Beberapa sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno Ada dua jenis sumber sejarah utama kerajaan Mataram Kuno, yaitu prasasti dan candi. 
Kedua jenis peninggalan sejarah ini menjadi landasan dalam mencari tahu kisah dan seluk beluk kerajaan. Berikut adalah beberapa prasasti yang menceritakan kerajaan Mataram Kuno. 

1. Canggal Prasasti ini berangka tahun 654 Saka atau 732 M (Masehi). Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Guning Wukir, tepatnya di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Huruf yang digunakan dalam prasasti Canggal adalah palawa, sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti Canggal adalah prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dalam rangka memperingati pendirian lingga di atas Bukit Sthirangga. Lingga tersebut didirikan sebagai rasa syukur karena ia telah bisa membangun kembali kerajaan dan bertahta dengan aman dan tenteram setelah mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam prasasti tersebut, Sanjaya tak menyebutkan nama kerajaan yang ia pimpin. Ia malah menjelaskan bahwa rasa di Jawa sebelum dirinya adalah Sanna. Setelah Sanna meninggal, keadaan menjadi kacau, kemudian Sanjaya menjadi raja atas bantuan sang ibu, Sannaha, yang tidak lain adalah saudara perempuan Sanna. 
2. Kalasan Seperti namanya, prasasti berangka tahun 778M ini ditemukan di Desa Kalasan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Huruf yang digunakan dalam penulisan prasasti ini adalah pranagari (India Utara), sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan pembangunan biara bagi pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan untuk para sangha. 
3. Mantyasih Prasasti yang ditemukan di Mantyasih ini—saat ini Meteseh, Magelang, Jawa Tengah—berangka tahun 907 M. Bahasa yang digunakan dalam prasasti Mantyasih adalah Jawa Kuno. Prasasti ini berisi silsilah raja-raja Mataram sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, dan Rakai Watuhumalang. Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan banyak sekali prasasti. Namun, beberapa prasasti tersebut merupakan prasasti yang cukup sering digunakan untuk mempelajari kerajaan Mataram Kuno. Sumber sejarah yang lain adalah candi dan kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang meninggalkan banyak candi, baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Berikut adalah beberapa candi tersebut: candi Plaosan, candi Prambanan, candi Sewu, candi Kalasan, candi Kedulan, candi Morangan, candi Ijo, candi Mendut, candi Pawon, candi Sambisari, candi Sari, candi Barong, candi Sojiwan, dan candi Borobudur. Sejarah kerajaan Mataram Kuno dan perubahan kekuasaannya Nama lain dari kerajaan Mataram Kuno Medang. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh tiga wangsa (dinasti), yaitu wangsa Sanjaya, wangsa Syailendra, dan wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya merupakan pendiri kerajaan ini. Mereka merupakan pemeluk agama Hindu beraliran Siwa. Wangsa Syailendra adalah pemeluk agama Buddha. Wangsa Isyana adalah wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok. Raja pertama yang juga menjadi pendiri dari kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Setelah Sanjaya meninggal, takhta jatuh ke Rakai Panangkaran yang memeluk agama Buddha beraliran Mahayana. Ini adalah awal pergantian wangsa dari Sanjaya menjadi Syailendra. Meski penguasanya telah berganti menjadi pemeluk Buddha, agama Hindu tetap berkembang di Kerajaan Mataram Kuno. 
 

Para penganut agama Hindu berada di Jawa bagian tengah-utara, sedangkan penganut agama Buddha ada di Jawa bagian tengah-selatan. Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di kerajaan Mataram Kuno setelah anak Raja Samaratungga, yaitu Pramodawardhani, menikah dengan Rakai Pikatan yang merupakan penganut agama Hindu. Dengan kata lain, penanda kembalinya wangsa Sanjaya di takhta Mataram Kuno adalah diangkatnya Rakai Pikatan menjadi raja. Ketika itu, Rakai Pikatan juga menyingkirkan Balaputradewa yang merupakan saudraa Pramodawardhani (wangsa Syailendra). 
 
Balaputradewa Kembali ke kerajaan Sriwijaya yang ada di Sumatra. Di sana, Balaputradewa menjadi seorang raja. Akhir masa kekuasaan wangsa Sanjaya di Mataram Kuno adalah kepemimpinan Rakai Sumba Dyah Wawa. Mpu Sindok naik takhta menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa, kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok kemudian membangun wangsa baru yang disebut Isyana. Letak Kerajaan Mataram Kuno Pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno sempat berpindah beberapa kali. Pada masa awal pendiriannya, pusat kerajaan Mataram Kuno diperkirakan ada di sekitar atau di wilayah Mataram (Yogyakarta masa sekarang). 
Ketika Rakai Pikatan memimpin Mataram Kuno, pusat kerajaan pindah Mamrati (daerah Kedu, Jawa Tengah). Pusat pemerintahan pindah lagi pada masa Dyah Balitung, yaitu di Poh Pitu (masih kawasan Kedu). Pada masa Dyah Wawa, diperkirakan pusat kerajaan kembali ke Mataram atau Yogyakarta. Ketika wangsa Isyana duduk di kursi kekuasaan, pusat kerajaan pindah ke Jawa bagian timur (Jawa Timur saat ini). Silsilah raja kerajaan Mataram Kuno atau Medang Kekuasaan di Mataram Kuno pernah dipegang oleh tiga wangsa. Lalu, siapa saja raja-raja yang memimpinnya? 
 
Berikut adalah para raja kerajaan Mataram Kuno dari awal hingga akhir. 
1. Sanjaya (pendiri kerajaan Mataram Kuno sekaligus wangsa Sanjaya) 
2. Rakai Panangkaran (awal kekuasaan wangsa Syailendra) 
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra 
4. Rakai Warak alias Samaragrawira 
5. Rakai Garung alias Samaratungga 
6. Rakai Pikatan (kembalinya Wangsa Sanjaya) 
7. Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala 
8. Rakai Watuhumalang 
9. Rakai Watukura Dyah Balitung 
10. Mpu Daksa 
11. Rakai Layang Dyah Tulodong 
12. Rakai Sumba Dyah Wawa 
13. Mpu Sindok (pendiri wangsa Isyana sekaligus awal periode Mataram Kuno di Jawa Timur) 
14. Sri Lokapala 
15. Makuthawangsawardhana 
16. Dharmawangsa Teguh (akhir Kerajaan Mataram Kuno) Selain sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno atau Medang, ikuti berita dalam dan luar.

Thursday, 20 May 2021

Sejarah Nusantara

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara sekitar pada abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan patung Buddha dari perunggu di daerah Jember dan Sulawesi Selatan. Pengenalan agama Buddha di Nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hsien pada awal abad ke 5 Masehi. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Selain Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, masih banyak pula kerajaan lain bercorak Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno.

Selanjutnya, muncul dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.Pada sekitar tahun 670 M, Penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing mengunjungi ibu kota daerah Palembang. Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Sriwijaya mencapai daerah Jawa Tengah dan Kamboja. Pada abad ke-14 terdapat satu kerajaan Hindu di Jawa Timur yang bernama Kerajaan Majapahit. Antara tahun 1331-1364,, Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.

Warisan Kebudayaan 
Sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Selanjutnya, warisan dari Kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada di Nusantara membentuk berbagai inspirasi hasil karya budaya di Nusantara. Salah satu contohnya ialah karya sastra India yang dibawa ke Indonesia, yakni wiracarita Ramayana, Mahabarata, dan karya sastra lainnya. Adanya kedua kitab itu juga memacu beberapa pujangga Nusantara untuk menghasilkan karyanya sendiri, seperti Empu Dharmaja dari kerajaan Kediri yang menyusun Kitab Smaradhahana, Empu Sedah dan Empu Panuluh dari kerajaan Kediri yang menelurkan karya Kitab Bharatayuda, Empu Tanakung yang membuat Kirab Lubdaka, Empu Kanwa yang memiliki karya Kitab Arjunawiwaha, Empu Triguna dengan Kitab Kresnayana-nya, Empu Panuluh yang menulis Kitab Gatotkacasraya, Empu Tantular yang membuat Kitab Kitab Sotasoma, dan Empu Prapanca yang masyhur dengan magnum opusnya yang berjudul Kitab Negarakertagama.Dengan demikian, cerita dari karya sastra yang muncul pada masa Hindu Buddha ini menjadi sumber inspirasi bagi pewayangan Indonesia.

Selain karya sastra, sistem politik dan pemerintahan pun diperkenalkan oleh orang-orang India dan membuat masyarakat yang pada awalnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil menjadi bersatu dan membentuk sebuah kekuasaan yang lebih besar dengan pemimpin tunggal berupa seorang raja. Karena pengaruh hal ini, beberapa kerajaan Hindu-Buddha seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Tarumanegara, dan Kutai akhirnya dapat muncul di Nusantara.

Tidak hanya karya sastra dan sistem politik saja yang berkembang pada masa Hindu Buddha di Nusantara, banyak pula hasil karya manusia masa lalu yang menandakan sejarah berkembangnya Hindu-Buddha di Nusantara. Beberapa di antaranya ialah adanya alat-alat dan benda sarana ritual yang salah satunya berbentuk arca yang memiliki beberapa bentuk yang dapat dikenali dari beberapa tanda khusus (laksana), posisi atau sikap tertentu, dan wahana atau binatang yang dianggap menjadi kendaraan seorang dewa.
Sejarah Nusantara pada Era Kerajaan Hindu Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia pada periode tarikh Masehi. Agama ini dibawa oleh para musafir dari India yang bernama Maha Resi Agastya. Maha Resi agastya ini di Jawa terkenal dengan nama Batara Guru atau Dwipayana. Ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di Nusantara disebut dengan aliran Waiṣṇawa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣṇu sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat di Situs Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Situs Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada sekitar abad ke- 5-7 M). Bukti adanya Agama Hindu tampak pada prasasti Tuk Mas yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, di lereng Gunung Merbabu yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-7 M.

Dalam ajaran Buddha, diketahui dianut oleh kelompok masyarakat Nusantara tepatnya di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M. Proses penyebaran agama Buddha dilakukan oleh para Dharmaduta yang bertugas untuk menyebarkan Dharma atau ajaran Buddha ke seluruh dunia. Penyebaran agama Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri yang belajar di India dan menjadi Bhiksu kemudian menyebarkan ajarannya di Nusantara. Untuk di daerah pulau Jawa, agama Buddha datang pada Abad ke-5 yang disebarkan oleh pangeran Khasmir (bernama Gunadharma). Pada abad ke-9, penyebaran Agama Buddha dilakukan oleh pendeta-pendeta dari wilayah India yaitu Gaudidwipa (benggala) dan Gujaradesa (Gujarat). Bukti tertua adanya pengaruh Buddha India di Indonesia adalah dengan ditemukannya Arca Buddha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Buddha.
Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.
 

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-13 Masehi melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatra dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era Hindu-Buddha ini.