Search This Blog

Monday, 24 May 2021

Mataram Kuno

Mataram pasti tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ini adalah nama kerajaan yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Peninggalannya pun sangat terkenal, salah satunya adalah candi Borobudur. 
Di mana kerajaan tersebut adalah Mataram Kuno. Lokasinya ada di bagian tengah Pulau Jawa (Jawa Tengah saat ini). Pusat dari kerajaan Mataram Kuno disebut dengan nama Bhumi Mataram. Wilayah kerajaan Mataram Kuno dikelilingi oleh banyak gunung-gunung dan pegunungan, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. 
Selain itu, ada banyak sungai yang mengalir di wilayah kerajaan Mataram Kuno, seperti Sungai Progo, Sungai Elo, Sungai Bogowonto, dan Sungai Bengawan Solo. Perpaduan geografis ini membuat wilayah Mataram Kuno menjadi sangat subur. Berikut penjelasan lebih dalam mengenai salah satu kerajaan yang menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Beberapa sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno Ada dua jenis sumber sejarah utama kerajaan Mataram Kuno, yaitu prasasti dan candi. 
Kedua jenis peninggalan sejarah ini menjadi landasan dalam mencari tahu kisah dan seluk beluk kerajaan. Berikut adalah beberapa prasasti yang menceritakan kerajaan Mataram Kuno. 

1. Canggal Prasasti ini berangka tahun 654 Saka atau 732 M (Masehi). Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Guning Wukir, tepatnya di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Huruf yang digunakan dalam prasasti Canggal adalah palawa, sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti Canggal adalah prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dalam rangka memperingati pendirian lingga di atas Bukit Sthirangga. Lingga tersebut didirikan sebagai rasa syukur karena ia telah bisa membangun kembali kerajaan dan bertahta dengan aman dan tenteram setelah mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam prasasti tersebut, Sanjaya tak menyebutkan nama kerajaan yang ia pimpin. Ia malah menjelaskan bahwa rasa di Jawa sebelum dirinya adalah Sanna. Setelah Sanna meninggal, keadaan menjadi kacau, kemudian Sanjaya menjadi raja atas bantuan sang ibu, Sannaha, yang tidak lain adalah saudara perempuan Sanna. 
2. Kalasan Seperti namanya, prasasti berangka tahun 778M ini ditemukan di Desa Kalasan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Huruf yang digunakan dalam penulisan prasasti ini adalah pranagari (India Utara), sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan pembangunan biara bagi pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan untuk para sangha. 
3. Mantyasih Prasasti yang ditemukan di Mantyasih ini—saat ini Meteseh, Magelang, Jawa Tengah—berangka tahun 907 M. Bahasa yang digunakan dalam prasasti Mantyasih adalah Jawa Kuno. Prasasti ini berisi silsilah raja-raja Mataram sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, dan Rakai Watuhumalang. Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan banyak sekali prasasti. Namun, beberapa prasasti tersebut merupakan prasasti yang cukup sering digunakan untuk mempelajari kerajaan Mataram Kuno. Sumber sejarah yang lain adalah candi dan kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang meninggalkan banyak candi, baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Berikut adalah beberapa candi tersebut: candi Plaosan, candi Prambanan, candi Sewu, candi Kalasan, candi Kedulan, candi Morangan, candi Ijo, candi Mendut, candi Pawon, candi Sambisari, candi Sari, candi Barong, candi Sojiwan, dan candi Borobudur. Sejarah kerajaan Mataram Kuno dan perubahan kekuasaannya Nama lain dari kerajaan Mataram Kuno Medang. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh tiga wangsa (dinasti), yaitu wangsa Sanjaya, wangsa Syailendra, dan wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya merupakan pendiri kerajaan ini. Mereka merupakan pemeluk agama Hindu beraliran Siwa. Wangsa Syailendra adalah pemeluk agama Buddha. Wangsa Isyana adalah wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok. Raja pertama yang juga menjadi pendiri dari kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Setelah Sanjaya meninggal, takhta jatuh ke Rakai Panangkaran yang memeluk agama Buddha beraliran Mahayana. Ini adalah awal pergantian wangsa dari Sanjaya menjadi Syailendra. Meski penguasanya telah berganti menjadi pemeluk Buddha, agama Hindu tetap berkembang di Kerajaan Mataram Kuno. 
 

Para penganut agama Hindu berada di Jawa bagian tengah-utara, sedangkan penganut agama Buddha ada di Jawa bagian tengah-selatan. Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di kerajaan Mataram Kuno setelah anak Raja Samaratungga, yaitu Pramodawardhani, menikah dengan Rakai Pikatan yang merupakan penganut agama Hindu. Dengan kata lain, penanda kembalinya wangsa Sanjaya di takhta Mataram Kuno adalah diangkatnya Rakai Pikatan menjadi raja. Ketika itu, Rakai Pikatan juga menyingkirkan Balaputradewa yang merupakan saudraa Pramodawardhani (wangsa Syailendra). 
 
Balaputradewa Kembali ke kerajaan Sriwijaya yang ada di Sumatra. Di sana, Balaputradewa menjadi seorang raja. Akhir masa kekuasaan wangsa Sanjaya di Mataram Kuno adalah kepemimpinan Rakai Sumba Dyah Wawa. Mpu Sindok naik takhta menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa, kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok kemudian membangun wangsa baru yang disebut Isyana. Letak Kerajaan Mataram Kuno Pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno sempat berpindah beberapa kali. Pada masa awal pendiriannya, pusat kerajaan Mataram Kuno diperkirakan ada di sekitar atau di wilayah Mataram (Yogyakarta masa sekarang). 
Ketika Rakai Pikatan memimpin Mataram Kuno, pusat kerajaan pindah Mamrati (daerah Kedu, Jawa Tengah). Pusat pemerintahan pindah lagi pada masa Dyah Balitung, yaitu di Poh Pitu (masih kawasan Kedu). Pada masa Dyah Wawa, diperkirakan pusat kerajaan kembali ke Mataram atau Yogyakarta. Ketika wangsa Isyana duduk di kursi kekuasaan, pusat kerajaan pindah ke Jawa bagian timur (Jawa Timur saat ini). Silsilah raja kerajaan Mataram Kuno atau Medang Kekuasaan di Mataram Kuno pernah dipegang oleh tiga wangsa. Lalu, siapa saja raja-raja yang memimpinnya? 
 
Berikut adalah para raja kerajaan Mataram Kuno dari awal hingga akhir. 
1. Sanjaya (pendiri kerajaan Mataram Kuno sekaligus wangsa Sanjaya) 
2. Rakai Panangkaran (awal kekuasaan wangsa Syailendra) 
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra 
4. Rakai Warak alias Samaragrawira 
5. Rakai Garung alias Samaratungga 
6. Rakai Pikatan (kembalinya Wangsa Sanjaya) 
7. Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala 
8. Rakai Watuhumalang 
9. Rakai Watukura Dyah Balitung 
10. Mpu Daksa 
11. Rakai Layang Dyah Tulodong 
12. Rakai Sumba Dyah Wawa 
13. Mpu Sindok (pendiri wangsa Isyana sekaligus awal periode Mataram Kuno di Jawa Timur) 
14. Sri Lokapala 
15. Makuthawangsawardhana 
16. Dharmawangsa Teguh (akhir Kerajaan Mataram Kuno) Selain sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno atau Medang, ikuti berita dalam dan luar.

Thursday, 20 May 2021

Sejarah Nusantara

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara sekitar pada abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan patung Buddha dari perunggu di daerah Jember dan Sulawesi Selatan. Pengenalan agama Buddha di Nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hsien pada awal abad ke 5 Masehi. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Selain Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, masih banyak pula kerajaan lain bercorak Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno.

Selanjutnya, muncul dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.Pada sekitar tahun 670 M, Penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing mengunjungi ibu kota daerah Palembang. Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Sriwijaya mencapai daerah Jawa Tengah dan Kamboja. Pada abad ke-14 terdapat satu kerajaan Hindu di Jawa Timur yang bernama Kerajaan Majapahit. Antara tahun 1331-1364,, Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.

Warisan Kebudayaan 
Sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Selanjutnya, warisan dari Kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada di Nusantara membentuk berbagai inspirasi hasil karya budaya di Nusantara. Salah satu contohnya ialah karya sastra India yang dibawa ke Indonesia, yakni wiracarita Ramayana, Mahabarata, dan karya sastra lainnya. Adanya kedua kitab itu juga memacu beberapa pujangga Nusantara untuk menghasilkan karyanya sendiri, seperti Empu Dharmaja dari kerajaan Kediri yang menyusun Kitab Smaradhahana, Empu Sedah dan Empu Panuluh dari kerajaan Kediri yang menelurkan karya Kitab Bharatayuda, Empu Tanakung yang membuat Kirab Lubdaka, Empu Kanwa yang memiliki karya Kitab Arjunawiwaha, Empu Triguna dengan Kitab Kresnayana-nya, Empu Panuluh yang menulis Kitab Gatotkacasraya, Empu Tantular yang membuat Kitab Kitab Sotasoma, dan Empu Prapanca yang masyhur dengan magnum opusnya yang berjudul Kitab Negarakertagama.Dengan demikian, cerita dari karya sastra yang muncul pada masa Hindu Buddha ini menjadi sumber inspirasi bagi pewayangan Indonesia.

Selain karya sastra, sistem politik dan pemerintahan pun diperkenalkan oleh orang-orang India dan membuat masyarakat yang pada awalnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil menjadi bersatu dan membentuk sebuah kekuasaan yang lebih besar dengan pemimpin tunggal berupa seorang raja. Karena pengaruh hal ini, beberapa kerajaan Hindu-Buddha seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Tarumanegara, dan Kutai akhirnya dapat muncul di Nusantara.

Tidak hanya karya sastra dan sistem politik saja yang berkembang pada masa Hindu Buddha di Nusantara, banyak pula hasil karya manusia masa lalu yang menandakan sejarah berkembangnya Hindu-Buddha di Nusantara. Beberapa di antaranya ialah adanya alat-alat dan benda sarana ritual yang salah satunya berbentuk arca yang memiliki beberapa bentuk yang dapat dikenali dari beberapa tanda khusus (laksana), posisi atau sikap tertentu, dan wahana atau binatang yang dianggap menjadi kendaraan seorang dewa.
Sejarah Nusantara pada Era Kerajaan Hindu Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia pada periode tarikh Masehi. Agama ini dibawa oleh para musafir dari India yang bernama Maha Resi Agastya. Maha Resi agastya ini di Jawa terkenal dengan nama Batara Guru atau Dwipayana. Ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di Nusantara disebut dengan aliran Waiṣṇawa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣṇu sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat di Situs Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Situs Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada sekitar abad ke- 5-7 M). Bukti adanya Agama Hindu tampak pada prasasti Tuk Mas yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, di lereng Gunung Merbabu yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-7 M.

Dalam ajaran Buddha, diketahui dianut oleh kelompok masyarakat Nusantara tepatnya di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M. Proses penyebaran agama Buddha dilakukan oleh para Dharmaduta yang bertugas untuk menyebarkan Dharma atau ajaran Buddha ke seluruh dunia. Penyebaran agama Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri yang belajar di India dan menjadi Bhiksu kemudian menyebarkan ajarannya di Nusantara. Untuk di daerah pulau Jawa, agama Buddha datang pada Abad ke-5 yang disebarkan oleh pangeran Khasmir (bernama Gunadharma). Pada abad ke-9, penyebaran Agama Buddha dilakukan oleh pendeta-pendeta dari wilayah India yaitu Gaudidwipa (benggala) dan Gujaradesa (Gujarat). Bukti tertua adanya pengaruh Buddha India di Indonesia adalah dengan ditemukannya Arca Buddha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Buddha.
Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.
 

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-13 Masehi melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatra dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era Hindu-Buddha ini.